Monday, April 2, 2018

Lasagna untuk Kenanga

Hi ! Happy easter for you all who celebrate it :D hope we can get bless and be a blessing to others. Amen J well, it’s midnight when I write this post. I am struggling with the pain of my furuncle at my armpit. I can’t sleep so I choose to do something happy to reduce the pain. And, yeah, write a happy story, about fall in love, because by feeling this character in this story can make me happy. Hahahhaa.. Happy reading !

***

“Kita putus aja ya”

“Ok”

Ya seperti itulah caraku dan pacarku mengakhiri hubungan kami. Berada dalam hubungan yang tidak sehat selama kurang lebih setengah tahun terakhir membuat kami capek sendiri. Kami sama-sama memiliki kesibukan masing-masing. Pacarku, Toni, adalah seorang mahasiswa teknik dan juga pecinta alam yang sedang sibuk untuk proyek ekspedisi Gunung Kerinci. Dia sudah memperjuangkan ekspedisi ini selama satu tahun belakangan, dan akhirnya perjuangan itu membuahkan hasil. Akhirnya kampus kami menyetujui untuk pengadaan ekspedisi dan ya.. energinya sangat terkuras untuk ini.

Aku Nisa, mahasiswi ekonomi yang juga sibuk mempersiapkan seminar ekonomi berskala nasional yang diadakan setiap lima tahun sekali, hal itu yang membuat kami berusaha dengan sangat keras agar acara ini berhasil. Recruitment panitianya saja berlangsung cukup ketat, dan puji Tuhan aku bisa masuk dalam kepanitiaan ini. Perlu perjuangan untuk bisa masuk dalam kepanitiaan, mengingat aku adalah mahasiswa yang tidak terlalu banyak mengikuti kegiatan di fakultas atau kampus.

Putus merupakan pilihan terbaik bagi kami saat ini. Paling tidak, kami bisa fokus pada kegiatan kami masing-masing. Toni dengan ekspedisinya, aku dengan seminar nasional. 

Hubungan kami memang baru dua tahun dan terasa hambar selama satu tahun terakhir dan memberat dalam enam bulan. Dalam sehari hanya ada satu atau dua chat, tanpa telepon, apalagi pergi bersama. Jujur, aku merasa biasa saja dengan kondisi ini. Mungkin, karena kami memang punya kesibukan sehingga pikiran kami teralihkan untuk itu semua. Bahkan ketika dia memutuskan hubunganpun aku tidak merasa sedih atau kecewa. 

Kami memang bukan pasangan populer yang ngehitz dan menjadi relationship goals mahasiswa kampus. Hanya beberapa teman dekat satu jurusan saja yang mengenal kami. Berada di kampus yang cukup ternama, dengan gedung yang terpisah untuk setiap jurusan, sangat sulit untuk menjadi orang beken. Hanya penerima beasiswa seperti LPDP, mahasiswa aktivis, atau yang masuk akun instagram dengan embel embel 'cantik' saja yang bisa terkenal. Sedangkan aku, jauh dari semua itu. Aku menikmati hidupku sebagai mahasiswa biasa. Hahahhaa..

Setelah hubungan kami berakhir, aku merasa tidak ada perubahan yang signifikan. Hanya mungkin, aku kehilangan teman untuk makan. Saat ini aku duduk di kantin teknik, tempat mahasiswa teknik makan. Kakiku sudah terstimulus untuk tiba tiba datang ke tempat ini, tempat di mana aku dan Toni biasa makan siang. Namun kali ini berbeda, aku hanya duduk di sini seorang diri.

“Cieee.. masih ke sini aja. Sendirian ?” lamunanku terhenti ketika Rina, temanku datang dan menepuk bahuku.

“Hahaha.. iya Rin. Lupa kalo udah putus. Tiba-tiba aja aku ke sini. Hahaha..” jawabku jujur.

“Gila ya. Udah putus pake acara lupa-lupa segala. Segitu hambarnya banget sih kalian” jawab Rina sambil duduk di depanku.

“Hah ? maksudnya gimana Rin ?” tanyaku.

“Ya biasanya kan kalo udah putus itu ada sedih-sedihnya, ada galau-galaunya. Lha ini, malah lupa. Doohhh” balas Rina, “ya emang beda sih kalian, sama-sama udah gada rasa dari lama ya gini” lanjutnya.

“Iya ya Rin, biasa aja gt rasanya..” jawabku.

Kata-kataku langsung terhenti ketika aku melihat seseorang berjalan melewati meja tempat aku dan Rina duduk.

Seorang laki-laki, yang tidak aku ketahui namanya, mencuri perhatianku. Ia berjalan bersama dengan teman-temannya. Aku belum pernah melihatnya selama aku pergi ke tempat ini.

“Nis ? halooo ?” Rina memanggilku.

“Eh sori Rin, aku tadi liat itu lho, yang lagi lewat. Siapa sih ?” tanyaku.

“Mana ?” Rina melihat ke belakang “eh, itu kan pacarku. Hahhaa.. dah Nis” Rina langsung pergi meninggalkanku setelah bertemu dengan pacarnya, Robi. Rina adalah temanku satu fakultas yang juga berpacaran dengan anak Teknik. Kami biasanya pergi ke kantin teknik bersama-sama. Dan tentu saja, orang yang kumaksud bukan Robi, karena aku sama sekali tidak mengenal laki-laki yang baru saja lewat di depan mataku.

Dia-yang belum kuketahui namanya- duduk bersama dengan teman-temannya. Aku mengamatinya dari atas hingga ke bawah. Bila dideskripsikan, dia tampak sangat mirip dengan tokoh Harry Potter ketika tahun pertama. Rambutnya cepak, agak panjang dan acak-acakan. Badannya bungkuk, sepertinya dia sering membawa tas berbeban berat. Ia menggunakan kacamata dengan frame kotak hitam yang tampak cocok dengan wajahnya yang berwarna sawo matang. Ia juga menggunakan jam tangan yang kulihat terlalu besar dan terlalu longgar untuk tangannya yang kurus.

Aku memandanginya dengan seksama. Kulihat dia mengeluarkan notebook nya yang kecil itu. Sesuai dengan badannya yang juga kecil, untuk ukuran laki-laki. Tingginya mungkin sekitar 160 cm, 6 cm lebih tinggi dariku.

Kulihat jam milikku yang sudah menunjukkan pukul 15.00. Aku harus bergegas menuju ke gazebo dekat lapangan kampus untuk rapat seminar. Sekali lagi kulihat dirinya, pria itu, dan aku berharap, semoga aku bisa bertemu lagi dengannya..

***

Hari Kamis pukul 12.00 aku melangkah ke luar kelas menuju ke perpustakaan kampus untuk mengerjakan beberapa tugasku sembari menunggu rapat seminar pukul 18.00. Jarak antara fakultasku dengan perpustakaan kampus tidak terlalu jauh dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki.

Setelah makan siang, aku bergegas untuk ke perpustakaan, di sana aku langsung menuju ke ruang komputer. Berjam-jam aku berkutat dengan tugasku. Tepat pukul 17.00, aku melihatnya lagi, pria yang kulihat di kantin teknik beberapa hari yang lalu. Namun kali ini ia datang sendirian. Kulihat dia duduk di ruang belajar dan mengeluarkan notebook kecil miliknya lagi. Dan tidak hanya notebook, tetapi dia juga mengeluarkan wadah bekal makanan. Aku tidak tahu pasti apa yang dia makan, dan untuk mengurangi rasa penasaranku, aku pura-pura mencari buku di rak samping meja tempat dia duduk.

Terasa sangat akward hanya untuk berjalan dari ruang komputer menuju ke ruang belajar. Langkahku sangat terbata-bata dan aku merasa ada yang aneh dari diriku. Tangan dan kakiku mulai mengeluarkan keringat dingin dan jantungku bergedup sangat kencang. Perutku sampai mual, seperti naik roller coaster. Pandanganku lurus ke depan, tapi ujung mataku melihatnya, dan hal ini yang menyebabkan aku hamper menabrak salah satu rak buku.

Ternyata kalo di film-film ada orang salah fokus itu gini rasanya…

Aku berpura-pura memilih buku sembari ujung mataku melihatnya. Aku benar-benar merasa aneh saat itu.

Untuk apa aku sampai seperti ini ?

Tetapi lagi-lagi, aku terstimulus untuk melakukannya tanpa berpikir panjang.

“Woe, Nang, kamu di sini to. Nanti datang kan ?” kudengar seseorang menyapanya. Aku langsung membuka telingaku lebar-lebar agar bisa mendengar mereka.

Nang ? namanya Nang ? Nang siapa ?

“Yo i, bro. Nanti datang dong, di lapangan kan ?” jawabnya.

“Ya di mana lagi.. di situlah. Eh kamu makan apa itu ?” kata temannya.

“Biasa.. hahahhaa” jawabnya. Aku mulai memposisikan diriku agar aku bisa melihat wajahnya. Jantungku semakin berdegup dengan kencang, aku bisa merasakan aliran darahku mengalir lebih cepat. Kulihat wajahnya dari dekat. Deretan gigi yang putih dan rapi dengan suara yang sangat medok. Kulihat lagi makanan yang ada di tempat makan berwarna biru miliknya.

Emm.. itu.. lasagna ?

“Itu lasagna ya ? setiap hari kamu bawa itu. Ga bosen ?” Tanya temannya.

“Engga bro. makanya makannya sehari sekali aja, biar ga bosen. Hahaha” jawabnya santai sambil tertawa. Tanpa sadar akupun ikut tersenyum mendengarnya.

“Dasar. Yaudah, aku duluan ya. Sampai jumpa nanti” temannya pun pergi.

Aku masih pura-pura melihat-lihat buku sambil memandanginya.

Kamu siapa ?

Tanyaku berulang dalam hati.

Kulihat jam di tanganku. Pukul 18.00. Akupun bergegas pergi dari rak buku dan mengambil barang-barangku untuk segera pergi ke gazebo, tempat di mana kami biasa mengadakan rapat. Sepanjang jalanku, aku berdoa, semoga lapangan yang dimaksud tadi adalah lapangan dekat gazebo. Aku berharap demikian, agar aku bisa melihat dirinya lagi.

Sesampainya di gazebo, aku sengaja mengambil posisi agar bisa menghadap ke lapangan. Aku melihat setiap orang yang berlalu lalang, harap-harap cemas siapa tahu ‘Nang’ datang. Kupakai kacamataku dan kulihat sekeliling dengan seksama, sedangkan telingaku mendengar rapat dan tanganku mencatat serta jantungku terasa deg-degan. Sedari tadi memang aku merasa badanku aneh  Tangan dan kakiku terasa dingin, jantung deg-deg an, dan peut mual. Hal-hal itu masih saja kurasakan. Sampai akhirnya kulihat seseorang lewat dengan membawa kamera DSLR. Itulah ‘Nang’.

Pernahkah kalian, ketika sedang berjalan di kerumuman dan berusaha mencari seseorang, disertai keanehan tubuhmu dan ketika kamu menemukan orang itu rasanya seakan-akan lega yang teramat sangat, seperti turun dari jalanan curam dengan kecepatan tinggi namun akhirnya selamat ?
Ya seperti itulah yang kurasakan.

Jadi kamu suka fotografi ya, Nang ?

Aku tersenyum melihatnya.
***

Perjalanan pulang setelah rapat terasa berbeda. Rasanya di atas motor aku ingin sekali berteriak-teriak kegirangan dan tertawa sekeras mungkin untuk meluapkan ekspresi kebahagiaanku. Aku melakukannya, satu kali, sebelum pandangan aneh orang-orang di sekitarku ketika lampu merah. Aku pura-pura innocent karena aku memakai masker sehingga tidak ketahuan. Hihii…

Dalam perjalanan aku melewati sebuah supermarket. Dan tanpa sadar, aku langsung membelokkan motorku ke sana. Aku sempat ngebleng untuk beberapa saat.

Ini kenapa deh aku sampe sini ? mau belanja apa aku ?

Pikirku dalam hati. Namun aku kemudian berjalan-jalan di sekitaran rak untuk mencari inspirasi. Sampai akhirnya, aku sampai pada rak pasta.

Lasagna.

Segera kucek dompetku untuk menghitun uang, kucek hp ku untuk mencari serep lasagna. Akupun pulang tanpa tangan kosong. Aku membeli bahan-bahan untuk membuat lasagna.

***

Pukul 06.00, aku bangun dan membuka-buka hp ku. Biasanya ketika kubuka hp ku, ada pesan singkat yang masuk. Ya, pacarku biasanya mengucapkan selamat pagi. Namun, beberapa waktu ke belakang hingga saat ini aku sudah tidak mendapatkannya lagi. Akupun membuka laman facebook untuk mengecek beberapa pemberitahuan. Tiba-tiba aku kepikiran untuk mencari tahu mengenai ‘Nang’.

Aku mengecek di friend list beberapa temanku yang ngehitz di kampus karena siapa yang tidak berteman dengan mereka ? namun hasilnya nihil. Aku tidak tahu nama lengkapnya dan tidak ada data tentang dirinya sama sekali. Aku berpikir keras agar bisa mendapat informasi, paling tidak, tentang namanya.

Kemudian aku teringat bahwa ia mengikuti kegiatan fotografi. Aku langsung membuka profil facebook klub fotografi kampus, dan kucari satu-satu di list membernya. Karena tidak mengetahui nama, aku membuka profil setiap orang yang menjadi member.

Akhirnya ketemu.

Kenanga Saputra.

Itulah namanya.

Jantungku terasa hampir lepas dari rongga dadaku. Perutku kembali mual, tangan kakiku terasa  sangat dingin. Aku langsung bersembunyi di balik selimut dan kakiku bergerak-gerak kegirangan.

Terima kasih facebook. Sungguh, terpujilah engkau Mark Zukeberg.

Teriakku dalam hati. Akupun menjelajahi profil facebook nya. Kulihat awal hingga akhir postingan. Ternyata dia tidak terlalu banyak memposting segala sesuatu, paling banyak hanya foto-foto matahari tenggelam hasil karyanya. Lucu, karena ketika aku menemukan seseorang yang bertanya kepadanya, 'kenapa kamu suka foto matahari tenggelam ?' jawaban Kenanga cukup simpel, 'soalnya obyeknya aja udah bagus. Gaperlu susah-susah pake teknik foto juga hasilnya tetep bagus'. Aku mengangguk dan tersenyum setuju. Akupun berpikir apakah aku harus add facebook miliknya. Belum sempat kulakukan, aku segera menutup facebook ku dan siap-siap menuju ke kampus.

Aku mulai melakukan mix and match sebelum berangkat ke kampus. Hal yang tidak pernah kulakukan selama masa perkuliahanku. Aku memilih untuk menggunakan kemeja berwarna biru, dengan jaket jeans yang sudah lama tidak kugunakan, celana kain berbentuk pensil berwarna hitam dan sepatu sneakers. Akupun mengikat rambutku tinggi dan kurapikan poniku. Tak lupa, aku memasang anting-anting andalanku dan mengoleskan lipstick nude. Berkali-kali kuputar badanku untuk melihat diriku di kaca. Tak hanya itu, akupun latihan senyum, ya.. kalau-kalau.. aku bertemu ‘Nang’ alias Kenanga hari ini.

Halo J  

Emm.. engga, gausah kliatan  gigi.

Haloo..

Terlalu berlebihan.

Hai.

Kalo ini sok cuek.

J

Aduh, lipstick ku belepotan.

Begitulah aku ketika berusaha untuk tersenyum kalau-kalau bertemu Kenanga hari ini. Aku bertekad untuk memberinya sebuah senyuman ketika bertemu. Meskipun tampak akward, paling tidak, aku sudah berusaha.

***

Hari ini hari Minggu. Aku bertekad untuk membuat lasagna dengan bahan-bahan yang sudah kubeli beberapa saat yang lalu. Aku baru pertama kali ini memasak lasagna namun aku harap percobaanku ini berhasil. Aku ingin memberikan lasagna buatanku kepada Kenanga, atau yang biasa disebut dengan Nanang.

Aku baru mengetahuinya setelah beberapa kali kepo facebook miliknya. Tidak, aku belum memiliki keberanian untuk klik add as a friend. Aku bersyukur dengan adanya sosial media, terkhusus facebook, sehingga aku bisa mengetahui mengenai seseorang dari sana. Hal ini juga dipengaruhi karena aku tidak memiliki instagram atau twitter. Aku jadi mengetahui mengenai pemberian nama Kenanga yang dikarenakan kelahirannya di Filipina, dan bunga kenanga berasal dari sana. Aku juga mengetahui tentang hobi, bahkan pendidikannya dari SD hingga kuliah lewat facebook. Ternyata dia adalah seorang mahasiswa teknik informatika, mungkin itu sebabnya dia selalu membawa notebook ke manapun ia pergi. Hahaha.. sangat mengerikan tingkat kekepoanku ini.

Beberapa kali aku bertemu dengan Kenanga di perpustakaan. Aku mengetahui bahwa dia senang pergi ke sana untuk mengerjakan tugas atau sekedar nge game Dota. Dan lagi-lagi, aku hanya bisa melihatnya dari dari ruang komputer. Memang, setiap aku melihatnya dia pasti membawa kotak makanan kecil berisi lasagna.

Meskipun aku bisa melihatnya, namun tak sekalipun aku berani menyapanya. Aku hanya bisa memandanginya, tanpa memberinya sebuah senyuman. Bila melihatnya saja, semua keanehan tubuhku kembali. Keringat dingin, deg-deg an, dan mual.

***

Percobaan pertamaku dalam membuat lasagna ternyata berhasil karena pada dasarnya aku adalah orang yang senang memasak berbagai masakan, mulai dari kue hingga pasta. Meski bentuknya tidak secantik buatan toko, namun rasanya boleh diadu. Aku memotong-motong lasagna ku ke dalam beberapa tempat makan mika untuk kubagi-bagikan kepada teman-temanku keesokan harinya. Dan mereka pun berpikir sama denganku.

“Plis, Nis. Ini apaan deh bentuknya kayak gini” kata Rina.

“Cobain dulu lah. Baru komen” jawabku. Rina langsung mengambil sepotong lasagna.

“Eh gilak. Enak cooy” Rina mengunyah makanan dengan semangat, “ini baru namanya don’t judge a food by its shape. Hahaha..”

Mendengar hal itu aku menjadi cukup percaya diri menyisakan satu potong untuk kuberikan kepada Kenanga. Aku membagi-bagikan lasagna ku kepada sepuluh orang temanku, dan mereka semua berkata lasagnaku enak dan hanya empat diantaranya yang mengatakan bentuknya mengerikan.

Menjelang sore setelah kelas, aku bergegas menuju ke perpustakaan dan menunggu Kenanga datang. Biasanya, ia datang sekitar pukul 16.00, kecuali hari Kamis dia datang pukul 17.00 karena jam 18.00 ia akan mengikuti perkumpulan fotografi.

Hai. Aku Nisa. Kamu Kenanga ya ? aku beberapa kali liat kamu di perpus, ini aku masak. Masih sisa satu. Buatmu. Hehe..

Ah, kepanjangan.

Hai. Aku Nisa. Kamu suka lasagna ya ? ini buatmu.

Aduuhh, keliatan kepo nya. Serem.

Hai. Aku masak nih, sisa satu.. gatau mau kasih ke siapa. Buatmu aja. Hehehe..

Aneh banget, ga kenal langsung kasih kasih aja.

Begitulah yang kulakukan sembari menunggunya datang. Latihan bicara untuk menyerahkan lasagna ini. Aku sudah latian di rumah namun belum menemukan kata-kata yang tepat.

Kulihat jam di tanganku yang sudah menunjukkan pukul 16.20 dan Kenanga belum juga datang. Aku kemudian berjalan-jalan ke seluruh bagian ruangan di perpustakaan, namun hasilnya juga nihil. Aku kemudian menunggu hingga pukul 17.00.

Kenanga tidak juga datang.

Perasaanku berubah menjadi khawatir. Entah mengapa hatiku berkata bahwa ia tidak datang ke perpustakaan hari ini. Aku pun keluar dari perpustakaan dan berjalan-jalan di sekitaran kampus, kalau-kalau aku melihat Kenanga. Aku pergi ke kantin fakultas teknik, namun tidak kutemukan juga batang hidungnya. Kemudian aku berjalan menuju ke laboratorium komputer tempat ia biasa praktikum, namun nihil pula.

Pukul 17.45 aku mulai mengurungkan niatku untuk memberikan masakanku kepada Kenanga. Aku berjalan menuju gazebo dekat lapangan untuk sejenak menghela napas dan beristirahat.

Matahari perlahan mulai tenggelam. Aku duduk di gazebo dengan tatapan sayu. Kupegang lasagna dan kupandanginya. Kemudian aku memutuskan untuk memakannya sendiri saja karena aku tidak bisa menemukan Kenanga. Ketika aku hendak membuka plastic mika, wadah lasagna, aku mendengar ada bunyi bel sepeda. Ketika kulihat dengan seksama.. ternyata itu Kenanga. Kenanga datang ke lapangan dengan menggunakan sepeda dan membawa kamera. Ia ingin memotret sunset, kesukaannya.

Tanpa pikir panjang, aku langsung berjalan menuju ke arahnya. Jantungku berdegup kencang, lebih kencang dari biasanya, mataku berkunang-kunang, bibirku terasa sangat kering karena napasku yang ngos-ngosan.

Ketika aku sampai di samping Kenanga, ia menolehkan wajahnya kepadaku, sebelum aku sempat menyapanya. Ia melihatku di balik kacamata kotaknya.

“Hai. Ini buatmu” ucapku terbata-bata sambil menyerahkan plastic mika wadah lasagna.

Kenanga mengambilnya dari tanganku dengan wajah yang agak heran. Belum sempat dia mengucapkan kata-kata, aku langsung berbalik arah. Aku percaya mukaku pasti sangat merah karena menahan malu. Ketika aku membalikkan badan dan hendak melakukan jalan cepat untuk segera kabur dari tempat itu, Kenanga memegang pundakku dan berkata,

“Terima kasih. Kamu Anisa, anak manajemen itu kan ?”

Akupun terkejut ketika dia mengetahui namaku dan yang kuingat, senja tidak pernah menjadi seindah dan seromantis itu.

***

Thank you for reading my very long story :) actually I've been inspired about this story a long time ago, but I was too lazy to make it. I'm happy that I can retell this story which was repeating on my head :D  

No comments:

Post a Comment

Pilihan untuk Menjadi Ibu yang Bekerja

Menjadi ibu itu capek ! Serius, melelahkan. Sebagai seorang ibu, mau bekerja atau full time di rumah, tetap saja melelahkan. Beberapa waktu...