Tuesday, September 26, 2017

Nina


‘Itu Nina !’ ucapku kegirangan dalam hati.

Segera kuberlari dan bersembunyi di balik pintu kaca bangsal rumah sakit. Aku terlalu malu untuk menyapa, atau bahkan melihat Nina. Mata indahnya seperti menghipnotisku dalam-dalam; dan aku tidak mau tersesat di dalamnya.

Nina berjalan melewatiku.. seperti biasa, jangankan menoleh, dia bahkan tidak merasa adanya kehadiranku. Aku hanya bisa melihatnya dari balik pintu, dan lagi-lagi, wangi parfumnya membuatku mabuk kepayang.

Pelan-pelan kuikuti ke mana Nina pergi. Saat ini adalah jam kunjung pasien, kulihat lorong bangsal ramai dengan orang-orang yang hilir mudik. Nina pasti tidak mengetahui bahwa aku mengikutinya.

Ramainya lorong bangsal membuat Nina menghilang dari pandanganku, aku harus mengintip ke setiap jendela kamar pasien untuk bisa menemukannya. Langkahku terhenti ketika aku mendengar suara lembut Nina yang sedang memperbaiki infus pasien yang macet.

“Tangannya jangan diangkat tinggi-tinggi ya, Pak Samiun, nanti darahnya naik” ucap Nina sambil tersenyum.

‘Ah, senyuman itu !’ jantungku langsung berdegup kencang melihat senyum manis Nina. Senyuman yang membuatku jatuh hati padanya.

Kulihat Nina berjalan menuju pintu, dekat jendela tempat di mana aku mengintipnya, aku langsung membalikkan badanku dan berjalan cepat menjauhinya, supaya Nina tidak tahu bahwa diam-diam aku memperhatikannya. Aku hanya takut Nina menjadi ilfil dan membenciku.

Akupun cepat-cepat berlari menuju ke arah pintu keluar dekat lift. Dari pintu kaca tersebut, aku melihat Nina berjalan melewatiku.

‘Cantik. Cantik. Cantik’ gumamku dalam hati. Sungguh, aku sangat tergila-gila pada Nina.

‘Sampai kapankah aku harus memendam perasaanku ini ? Bertahun-tahun aku hanya bisa melihat dan memandangmu dari jauh, Nina..’
***

Pagi ini kulihat Nina terburu-buru untuk pulang, meskipun di luar terdengar rintik hujan yang membasahi rumah sakit tempat Nina bekerja.

‘Shift malam memang sangat melelahkan, ya Nina ?’ ucapku dalam hati.

Ingin rasanya aku mendekatinya dan memberikan segelas coklat hangat untuk menemaninya; bila ia masih memiliki hobi yang sama seperti dulu: menikmati segelas coklat hangat sembari mengunyah keripik kentang.

’Atau kau ingin kubuatkan semangkuk mi rebus, Nina ?’ tanyaku percuma. Karena  aku tahu, Nina pasti tidak bisa, atau tidak mau untuk mendengarkan perkataanku.

“Bu, Nina pulang dulu ya” ucap Nina kepada salah seorang perawat senior.

“Masih hujan, Nina. Apa gak nanti aja, nunggu reda ?” jawab perawat itu.

“Engga deh bu. Saya buru-buru. Mari bu”

Tanpa menunggu jawaban, Nina langsung mengemasi barangnya dan berjalan keluar ruangan.
Kakiku terstimulus untuk mengikuti deru langkah kaki Nina yang terburu-buru itu. Aku hanya bisa mengikutinya dari belakang sambil tetap bersembunyi, kalau-kalau tetiba dia menoleh dan melihatku. Aku merasa tidak cukup tampan untuk bertemu dengannya saat ini.

Menuju pintu keluar, Nina mengambil payung hitam miliknya dan berjalan menerobos rintik hujan. Akupun menerobos hujan sambil tetap berjalan di belakang Nina.

Langkah Nina terhenti setelah melewati beberapa blok dari rumah sakit. Nina masuk ke dalam tempat itu, tempat yang dingin dan sunyi.

Kulihat Nina berjalan dan akhirnya setelah berhasil menemukan tempat yang dituju, ia berhenti sembari mengeluarkan setangkai mawar merah.

“Untukmu. Dan hingga saat ini, aku masih sangat merindukanmu”

Itu adalah kata-kata yang sama yang diucapkan Nina hampir setiap harinya, di tempat di mana aku beristirahat untuk selama-lamanya, di depan kuburku.

‘Akupun juga sangat merindukanmu, Nina’



This short story dedicated to Antoninaerviana, thank you for your inspiring story J
 



Pilihan untuk Menjadi Ibu yang Bekerja

Menjadi ibu itu capek ! Serius, melelahkan. Sebagai seorang ibu, mau bekerja atau full time di rumah, tetap saja melelahkan. Beberapa waktu...