Sunday, August 6, 2017

Ada Apa dengan Kebijakan ?

‘Kebijakan yang kayak gimana maksudnya ? Yang meningkatkan kesehatan ?’
Can you give the details about the policy ?’

Kira-kira seperti itulah pertanyaan yang muncul ketika saya mengajukan pertanyaan kepada beberapa orang berlatar belakang kesehatan via LinkedIn mengenai kebijakan kesehatan yang menurut mereka mendesak untuk segera dilakukan. Dari pertanyaan saya tersebut kemudian perbincangan maya kami berkembang menjadi sebuah diskusi kecil yang menarik. Menarik karena jawaban yang diberikan ternyata tidak jauh berbeda, meskipun subyek yang saya beri pertanyaan berasal dari belahan negara yang berbeda. Mereka memberikan beberapa poin jawaban di mana salah satu poin pasti ada yang terkait dengan penyakit kronik.

Penyakit kronik menjadi permasalahan berskala global dan memiliki banyak pengaruh dalam kehidupan masyarakat. Kebijakan mengenai penyakit kronik dirasa mendesak karena tingkat mortalitas dan morbiditas yang disebabkan oleh penyakit ini cukup tinggi dan semakin meningkat dari tahun ke tahun serta menyebabkan penurunan produktivitas yang kemudian dapat mempengaruhi banyak aspek, seperti aspek kualitas hidup, aspek kejiwaan, dan aspek-aspek lainnya.

Penyakit kronik adalah penyakit yang terjadi dengan durasi yang lama, bisa dalam hitungan bulan atau tahun, di mana pengobatan yang dilakukan membutuhkan waktu yang panjang bahkan seumur hidup. Pembahasan mengenai penyakit kronik ini dikemukakan oleh narasumber-narasumber saya via LinkedIn. Ternyata, penyakit kronik tidak hanya menjadi masalah di Indonesia, namun juga di luar Indonesia. Hal inilah yang membuat jawaban narasumber saya banyak terkait dengan kebijakan mengenai penyakit kronik.

Kebijakan yang dikemukakan mengenai penyakit kronik beragam, mulai dari pencegahan, penanganan, hingga sistem pembiayaannya. Yang pertama adalah kebijakan mengenai pencegahan penyakit kronik. Pencegahan ini dapat dilakukan dengan menggalakkan pola diet sehat yaitu makanan rendah lemak dan mengutamakan sayur-sayuran (Whole Food Plant Base). Seperti kita ketahui banyak penyakit kronik seperti penyakit kardiovaskular, obesitas, atau bahkan kanker sangat berkaitan erat dengan pola dan gaya hidup seseorang. Salah satu gaya hidup yang memiliki peran penting adalah pola diet. Berdasarkan Riskesdas tahun 2013, pola diet masuk ke dalam tiga besar faktor resiko terjadinya penyakit kardiovaskular. Pola diet yang dimaksudkan mencakup makanan manis, makanan asin, dan makanan berlemak. Dengan adanya kebijakan pencegahan dengan tujuan mengajak masyarakat untuk memiliki pola diet yang sehat, tentu diharapkan mampu untuk mengurangi insidensi penyakit kardiovaskular.

Lembaga kesehatan masyarakat dapat menjadi ujung tombak dalam pelaksanaan kebijakan ini. Bila kebijakan ini diaplikasikan di Indonesia, tentu lembaga kesehatan masyarakat yang dimaksud salah satunya adalah Puskesmas. Kebijakan ini sebenarnya sudah diberlakukan di Indonesia, yaitu dengan PHBS (Pola Hidup Bersih dan Sehat) di mana salah satu indikatornya adalah dengan pola diet sehat. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya masih belum optimal.   

Kebijakan kedua adalah mengenai penanganan. Penanganan ini berfokus pada pemahaman mengenai tatalaksana dari suatu penyakit, secara khusus adalah penyakit kronik dan secara umum adalah penyakit lainnya. Sampai sekarang belum ada suatu pedoman khusus dalam hal pengobatan suatu penyakit. Pengobatan suatu penyakit masih banyak yang menggunakan pedoman khusus, misalnya adalah pedoman berdasarkan pengalaman, atau bahkan terkotak-kotakkan sesuai dengan institusi pendidikan. Sehingga, antara institusi pendidikan satu dengan yang lain bisa memiliki tatalaksana yang berbeda pada penyakit yang sama. Hal ini menjadi dasar bahwa perlu diberlakukan suatu kebijakan mengenai pedoman tatalaksana dan pengobatan penyakit yang dapat diterapkan oleh seluruh institusi pendidikan secara umum.

Ketiga adalah mengenai pembiayaan. Seperti kita ketahui bahwa Indonesia sudah menerapkan sistem BPJS dalam pembiayanan pelayanan kesehatan. Sistem BPJS ini dinilai sangat membantu terutama pada pasien dengan penyakit kronik yang membutuhkan pengobatan jangka panjang atau bahkan seumur hidup. Sebagai sebuah sistem yang baru berlangsung beberapa tahun terakhir, tentu banyak kekurangan yang ada. Salah satu hal yang disoroti adalah terkait pembiayaan BPJS.

BPJS sebagai sebuah sistem yang berkaitan dengan uang, tentu akan sangat menggiurkan bagi oknum-oknum tertentu yang tidak bertanggung jawab. Untuk mengurangi terjadinya kecurangan yang bisa dilakukan, diperlukan adanya kebijakan untuk membentuk suatu lembaga atau sistem kontrol pengendali kecurangan dana BPJS Kesehatan atau bantuan operasional kesehatan lainnya. Lembaga atau sistem ini sebaiknya ada di setiap pelayanan kesehatan, seperti klinik pratama, puskesmas, rumah sakit, dan instansi kesehatan lain. Dengan adanya lembaga atau sistem ini diharapkan dapat mengurangi tindakan kecurangan dan penyelewengan dana bagi jaminan kesehatan sehingga dana yang dialirkan bisa sepenuhnya berguna bagi masyarakat.

Selain mengenai kebijakan-kebijakan terkait penyakit kronik, terdapat beberapa kebijakan lain yang disampaikan oleh narasumber. Kebijakan ini memang tidak mendesak untuk dilakukan, namun bagi saya menarik untuk dibahas.

Pertama adalah kebijakan mengenai pengadaan asuransi malpraktek. Sebaiknya dokter bisa dilindungi oleh asuransi dan tidak hanya mengandalkan IDI. Perlindungan ini dibutuhkan agar dokter bisa tenang dan fokus pada pelayanan kesehatan tanpa merasa khawatir terhadap oknum-oknum tertentu yang senang mengambil kesempatan dalam kesempitan.  Asuransi malpraktek ini ternyata sudah dikeluarkan oleh beberapa asuransi swasta seperti Prudential dan Allianz, di mana asuransi ini mengover pembelaan pengadilan, ganti rugi, dan biaya pengacara.

Kedua adalah kebijakan mengenai program pengadaan suplemen vitamin D untuk anak dan dewasa yang memiliki aktivitas indoor. Kebijakan ini mungkin tidak mendesak dan kurang populer bila  diaplikasikan di Indonesia. Akan tetapi, ternyata kebijakan ini cukup mendesak untuk dilakukan di United Kingdom. Defisiensi vitamin D menjadi masalah serius di sana, mengingat banyak Negara Eropa Utara dan Kanada letak geografisnya jauh dari garis equator. Faktor kultur dan budaya ternyata juga memiliki pengaruh pada hal ini. Contohnya adalah Saudi Arabia dan Pakistan. Narasumber saya mengatakan, jumlah vitamin D sangat rendah pada wanita, hal ini disebabkan karena mereka harus memakai baju yang serba tertutup. Atau bahkan di Negara China, jumlah vitamin D rendah pada wanita yang menyusui, ternyata hal ini berkaitan dengan tradisi bahwa wanita menyusui harus selalu berada di dalam rumah.   

Demikianlah tulisan saya mengenai kebijakan kesehatan. Dapat diketahui bahwa ternyata terdapat masalah yang secara global meresahkan dan mendesak untuk dilakukan tindakan, namun tidak semua masalah memiliki solusi dapat diaplikasikan secara global. Perlu pengkajian dan perumusan yang mendalam untuk dapat memutuskan suatu kebijakan.

Terima kasih. 



Terima kasih saya ucapkan kepada narasumber saya:
dr. D. Fachrur Razy
dr. Relca Adriansyah
dr. Colin Walsh
Nicole Findlay

Pilihan untuk Menjadi Ibu yang Bekerja

Menjadi ibu itu capek ! Serius, melelahkan. Sebagai seorang ibu, mau bekerja atau full time di rumah, tetap saja melelahkan. Beberapa waktu...