Saturday, May 12, 2018

National Exam, Yay or Nay ?

Becoming a doctor is a struggle. We have to face many years to get this title. Even though, the educational period is different depends on each university. But the differences are not that far. Let’s make a count : 

To get a bachelor, we have to study for about 3,5 until 4 years. After that, we have to take clerkship for about 1,5 until 2 years. Note, it’s the fastest time, if you can pass all part without remedial. If you have to study over again, it will take more time. Next, we have to take the final exam, the one, and only exit exam. After that, we can get Hippocratic oath. Finally, we are legal to become a doctor. But, we haven’t practice yet. It’s illegal. We have to take an internship for 1 year, the place depends on the national. They will give us some places, then we have to select one of many places by using a computer.

In this writing, I want to give my opinion about national exam.

National exam as an exit exam began in 2014. There are two national exams. First is a theory, it’s a multiple choice, we have to choose one from five possibly answer. We call this a CBT (Computer Based Test) because you have to do this exam by computer. Second, it’s a skill, we call it OSCE (Objective Stricture Clinical Examination). We have twelve stations with different diagnoses, then we did doctor-patient (with simulation patient) activity and the senior doctor will observe and rate us. Many students say that the most horrible test is CBT because we’re rated by a computer while OSCE by senior doctor, mostly from their own university. 

There are pro and contra about national exam. There are four batches of national exam in one year. If a student doesn’t pass the exam yet, then he has to take the exam again 4 months later. Many sources have different sight about how much national exam can be taken. Some say twelve, but others say different. If until twelve times he still doesn’t pass the exam, he has to get private study from national then takes another exam. If he still doesn’t pass it, he can’t be a doctor and can’t get Hippocratic oath. His journey stops in bachelor. 

There was a medical student passed away a few moments ago because of depression. He didn’t want to eat anything. This news becomes viral because the reason for his depression was he didn’t pass the national exam for tenth times. 

It’s ironic. The struggle for, say six years, and still can’t be a doctor yet. How can be six years of study determined by 200 minutes for CBT and about four hours for OSCE ? Many people asking that question. Let’s we make some analyze.

There are so many faculties of medicine and not all of them have the same accreditation. Some have A accreditation, but there are many C accreditation (my university’s accreditation is B). National exam was made to be standardized for medical education in Indonesia. If students pass national exam, then they considered having same competence whatever their university accreditation.    

National exam becomes hard when it’s the one and only exit exam for becoming a doctor. If they can’t pass the exam, then they can’t be a doctor. They become bachelor of medicine, it’s not a doctor yet. Imagine their dream (and maybe their parent’s dream) to be a doctor, they have studied for many years, and the dream just falls off because of national exam. That’s why there was a student passed away because of depression. I believe there are a lot of students out there, without publicity, feel depression because of this national exam.

I had an informal talk with one of the senior doctor in my university. He said that national exam is ironic. Why should it be the one and only exam ? If a student doesn’t pass the exam, their journey stop in bachelor. Why not their journey stop in doctor ? at least, they have that title, but maybe they can’t practice in clinic.

I totally agree with that. There are many ways for a doctor. They not only just sitting in the chair, examining patient, making diagnose, then giving the medicine, but also they can be a lecture (by continuing study as a master), became a researcher, or maybe become a politician, businessman, and so on. 

I don’t agree with national exam as one and only an exit exam. There are many situations that can’t be predicted that make someone failed. Maybe they were sick while doing an exam, maybe they nervous so bad then they can’t do their best. We can’t judge their not competent just because they do not pass the national exam. Maybe we can make a deal with this by make a percentage. Example, 100% of all graduate mark can be divided 50% percentage by national exam and 50% by institution. And for the final result is make an average of this mark.

My conclusion is, 
National exam as a standardized quality in medical education ? yay. 
National exam as one and only exit exam ? nay. 

Tuesday, May 1, 2018

Cerpen Edukasi : Kisah Siro


Hi guys ! To celebrate National Education Day in Indonesia, I made an educational-short-story :D enjoy !

***

Kulihat lapang kosong di depanku yang perlahan-lahan mulai terisi dengan air. Saluran air yang bocor menyebabkan air mengalir ke sana, semakin lama semakin banyak sehingga lapang kosong itu menjadi hampir penuh terisi air.

Kulihat pula teman-temanku sedang bekerja keras untuk menyelesaikan pekerjaan harian, yaitu membersihkan barang-barang milik majikan kami. Mereka sudah terlihat sangat lelah dengan pekerjaan-pekerjaan yang overload. Ditambah dengan kondisi ruangan kami yang semakin lusuh dan tidak terawat. Ruangan tempat kami bekerja terasa menjadi semakin sempit dengan adanya benda-benda yang sama sekali tidak berguna.

“hah… hah…” kudengar suara napas salah seorang pekerja, Om Thomas, yang jaraknya hanya beberapa langkah dariku. Suaranya terdengar semakin berat. Kurasa ia sudah kelelahan dengan pekerjaan-pekerjaan ini.

“lihat, sebentar lagi ia pasti akan dipaksa untuk beristirahat” ucap temanku, Bang Rio, yang bekerja di sampingku.

“ya. Dan kemudian benda itu akan datang, menambah pekerjaan kita, dan memenuhi ruangan ini” jawabku.

“hahaha.. bertahanlah, kawan. Kamu masih terlihat kuat. Kuharap memang benar kuat-kuat, tidak sepertiku yang semakin lemah ini”  Bang Rio berkata sambil menepuk bahuku.

“jangan berkata seperti itu, Bang. Umur kita sama, kekuatan kita juga sama. Kita pasti bisa melewati pekerjaan-pekerjaan ini..” belum sempat aku menyelesaikan kata-kataku, Bang Rio sudah menimpali,

“kalau saja majikan kita tidak memberi tugas yang terlalu berat. Sudah lebih dari dua puluh tahun pekerjaan kita menjadi semakin melelahkan.  Uhuk.. uhukk..”

“Bang.. “ aku menjadi khawatir dengan kesehatan Bang Rio yang sudah terbatuk-batuk sejak beberapa bulan ini.

“Aku tidak apa-apa,” jawabnya.

“Mari kita lanjutkan” Bang Rio memberikan senyumnya kepadaku.

“baik, Bang”  aku membalas senyumnya, dengan senyum kecut. Dalam hati aku berdoa, semoga kami semua akan baik-baik saja.

Sudah menjadi kebiasan, bila ada pekerja yang kelelahan, pekerjaannya akan digantikan oleh sebuah benda yang menurutku sama sekali tidak berguna; atau bahkan mengganggu. Ingin rasanya aku berteriak dan berkata kepada majikan kami, bahwa benda itu sangat mengganggu atau aku ingin menyampaikan agar ia berhenti membebani kami dengan semua ini, seandainya bisa.. akan tetapi, kami semua mengetahui bahwa hal itu sudah terlambat.

Ya beginilah hidup kami, para pekerja yang terlupakan ini.

Kami bekerja di tempat ini sudah sekitar lima dekade. Lama ? Tergantung. Kami bisa bertahan lebih lama lagi, jika sang majikan memperhatikan kami. Memang, pada awalnya, pekerjaan kami tidak terlalu berat, namun keadaan berubah sejak sekitar dua puluh tahun terakhir. Ia selalu membebani dengan pekerjaan yang sangat berat dan melebihi kemampuan kami, hingga satu per satu dari kami mengalami kelelahan dan pekerjaan akan diambil alih oleh sebuah benda yang tidak berguna itu.

Aku juga tidak tahu benda apa itu karena hal yang ia lakukan adalah mengganggu kami bekerja. Yang ia lakukan hanya diam dan mempersempit ruangan kami bekerja. Ia seperti sampah yang sama sekali tidak berguna. Akan tetapi sudah merupakan sebuah sistem, bahwa ia akan muncul bila salah satu dari kami kelelahan.

Gluduk gluduk..

Tidak perlu menunggu waktu yang lama hingga benda itu datang untuk menggantikan pekerjaan dari Om Thomas. Benda itu kembali memenuhi ruangan tempat kami bekerja. Aku melihat ke pipa saluran air yang tertekan di atasnya. Aku sangat ketakutan bila suatu saat pipa itu bocor karena pasti hal yang mengerikan akan berulang.

Pipa saluran air pernah bocor sekitar satu minggu yang lalu, namun tidak di ruangan kami. Meski kebocoran tidak terlalu besar, namun cukup untuk membuat kami dan teman-teman dari divisi lain ikut mengalami gangguan. Aku ingat, kejadian itu sangat mengerikan. Tak terhitung pekerja yang tumbang dan tidak dapat bekerja lagi. Temanku dari divisi lain mengatakan, banyak sekali  pegawai baru yang masuk untuk membantu.  Dan hingga saat ini, keadaan belum juga membaik, bahkan yang kudengar keadaan menjadi lebih buruk.

Oleh karena itu, aku sangat khawatir bila pipa-pipa tersebut bocor lagi, walaupun dengan adanya kebocoran itu majikan kami menjadi sangat baik dengan mengurangi beban kerja. Tetapi, tetap saja kondisi kami sudah memprihatinkan dan tidak bisa kembali seperti semula.

Gubrak.. !

Terdengar suara seperti ada yang terjatuh. Aku sangat kaget karena ternyata yang jatuh adalah Bang Rio yang bekerja tepat di sampingku.

“Bang.. bang Rio !” aku memanggil dan menggoyang-goyangkan tubuhnya. Tubuhnya sudah lemas dan tidak berdaya. Ia sama sekali tidak menggerakkan badannya. Aku juga ikut terguncang melihat teman terbaikku jatuh terkapar di lantai.

Tet.. tet..

Alarm berbunyi menunjukkan adanya kebocoran. Kulihat sekelilingku, tidak ada kebocoran di ruangan tempatku bekerja, aku yakin kebocoran pasti di bagian lain; tempat yang sama ketika seminggu yang lalu kebocoran itu terjadi. Aku kemudian berlari melihat ke arah luar. Ternyata air di lapang kosong semakin banyak dan sudah memenuhinya.

Keadaan menjadi sangat kacau. Kudengar alarm dari ruangan lain sudah berbunyi. Kami belum pernah mengalami hal separah ini sebelumnya. Teman-teman yang berada di ruanganku menjadi sangat panik, aku menjadi saksi mata bagaimana mereka satu per satu tumbang.

Hingga akhirnya hanya tersisa aku seorang.

Kudengar teriakan dan isak tangis dari luar sana. Tidak ada yang bisa kita semua lakukan. Semua sudah terlambat. Mataku berkunang-kunang, napasku sudah terasa sesak. Tidak berapa lama, aku jatuh ke lantai.

Aku mati.

Majikanku pun, mati.

Inilah akhir kisah hidupku, sel parenkim hati.

***

Sel parenkim hati bekerja untuk membersihkan racun yang masuk ke dalam hati. Majikan kami senang mengonsumsi alcohol selama puluhan tahun, hal itulah yang membuat pekerjaan kami semakin berat. Ketika kami merasa lelah, kami akan menjadi rusak dan akan tumbuh jaringan baru, yang dinamakan jaringan fibrosis, benda yang tidak berguna itu. Jaringan fibrosis adalah proses alami ketika sel mengalami kerusakan.

Kerusakan pada sel hati juga menyebabkan adanya gangguan pada pembuluh darah, diibaratkan sebuah pipa. Pembuluh darah mengalami kerusakan dan tumbuh jaringan fibrosis, hal ini mengakibatkan terjadinya hipertensi porta. Seperti selang yang memiliki kerak di dalamnya, agar air dapat tetap mengalir tentu aliran harus kuat untuk melawan kerak tersebut, inilah hipertensi, di mana tekanan darah akan meningkat.  Hipertensi porta kemudian menyebabkan varises esophagus (pelebaran pembuluh darah pada esophagus).

Terjadinya gangguan tekanan onkotik dan hidrostatik pada pembuluh darah juga menyebabkan terjadinya kebocoran plasma, dan bisa mengisi lapang atau ruang kosong pada perut atau disebut dengan rongga peritoneal.

Apakah semua itu berbahaya ? tentu. Adanya sirosis hati menunjukkan adanya kerusakan sistemik yang dimulai dari organ hati dan berakibat pada hamper seluruh organ, misalnya ginjal. Tekanan osmotic dan onkotik akan berperan pada regulasi natrium di ginjal. Sedangkan varises esophagus dapat pecah dan terjadi perdarahan organ dalam. Bisa mengakibatkan syok dan akhirnya berujung pada kematian.

Pada cerita di atas, saya mengibaratkan majikan adalah sang pemilik tubuh. Majikan ini sedang berada di ruang rawat intensif (ICU) karena sebelumnya sudah mengalami pecahnya pembuluh darah esophagus. ‘Pegawai baru’ yang dimaksudkan adalah mesin-mesin di ruang rawat intensif. Dalam waktu seminggu, dengan komplikasi ascites (terkumpulnya cairan pada rongga peritoneal), pasien kemudian mengalami kegawatan (alarm berbunyi) dan akhirnya meninggal.

Segala kejadian yang terjadi inilah yang disebut dengan sirosis hati.

Pilihan untuk Menjadi Ibu yang Bekerja

Menjadi ibu itu capek ! Serius, melelahkan. Sebagai seorang ibu, mau bekerja atau full time di rumah, tetap saja melelahkan. Beberapa waktu...