Wednesday, November 16, 2022

Pilihan untuk Menjadi Ibu yang Bekerja

Menjadi ibu itu capek !

Serius, melelahkan. Sebagai seorang ibu, mau bekerja atau full time di rumah, tetap saja melelahkan.

Beberapa waktu yang lalu pernah membaca postingan di twitter tentang perbandingan antara ibu yang bekerja dan ibu yang tidak bekerja. Gatel banget rasanya pengin komen karena merasa postingan itu tidak sesuai dengan kondisi dan pikiranku. Bagiku, menjadi seorang ibu saja sudah merupakan pilihan, menikah saja pilihan, apalagi mau menjadi ibu yang bagaimana, juga merupakan pilihan, jadi tidak perlu menjatuhkan satu sama lain.

Dari postingan itu, aku berkontemplasi dengan diri sendiri terkait pilihan yang kubuat. Di sini aku hanya ingin bercerita dari sudut pandangku sebagai seorang ibu yang juga bekerja.

Sebenarnya pernah terlintas di pikiran untuk resign, di rumah saja mengurus rumah dan anak. Tapi pikiran itu hanya bertahan sebagai pikiran saat mandi atau saat otw ke tempat kerja (yang jaraknya 900 meter dari rumah). Realisasinya ? Duh, engga dulu deh. 

Kenapaaa ?

1. Personal experience

Aku dibesarkan oleh seorang single mom. Bisa diayangkan bila ibuku dulu tidak bekerja, uwoww.. 

Ibuku sendiri bilang, sempat juga kepikiran untuk resign setelah punya dua anak (aku anak terakhir), ibu diskusi dengan bapak pada saat itu. Hasil perbincangan mereka adalah ibu akan tetap bekerja karena sudah susah susah jadi PNS kok mau dilepas begitu saja. Dan voila ! Bapak amat disayang Tuhan sampai harus meninggalkan kami duluan untuk selamanya, yang mana usiaku baru sembilan tahun dan kakak baru berusia 13 tahun. 

Pikiran bahwa seorang ibu harus bekerja atau memiliki penghasilan karena kita tidak tahu apa yang terjadi ke depan, kalau bisa jangan menggantungkan penghidupan seratus persen pada pasangan itu sungguh menggema hingga saat aku dewasa ini.

2. Bekerja sebagai sebuah kegiatan lain selain di rumah

Sebagai seorang perantau amatir, hidupku benar-benar berkutat pada rumah dan tempat kerja. Tidak ada saudara ataupun (banyak) teman yang mengisi waktu luangku. Dengan bekerja, aku memiliki komunitas, memiliki kegiatan positif yang menghasilkan.

Ketika mengambil cuti melahirkan selama tiga bulan, aku sudah mbingungi suami dan ibu. Pengin ikut berbagai macam les karena merasa bosan di rumah. Padahal ya di rumah ada bayi yang perlu diurus. Memang, full time stay at home mom saat ini bukan menjadi passion ku.

Bekerja dan menjadi ibu, menjalani rutinitas harian yang itu itu saja memang menjenuhkan. Healing juga sebatas pergi ke minimarket, makan mie instan, atau scroll belanjaan di aplikasi online (yang juga engga di check out karena setelah dipikir ulang itu hanyalah impulsivitas). Aku sendiri tidak bisa membayangkan bila tidak bekerja, bisa stres. Fun fact, yang berpikir ini juga bukan hanya aku, tapi suamiku juga berpikir hal yang sama, beliau yakin aku akan melakukan hal (yang lebih) aneh kalau merasa bosan.

3. Mengasah pola pikir dan mencegah kepikunan

Aku percaya dengan bekerja itu mengasah critical thinking and how to solve the problem wisely. Dalam bekerja pastilah ada masalah yang perlu diselesaikan dengan baik, nah, kalau otak dipakai untuk banyak berpikir, (semoga) aplikasinya bisa membuat lebih cerdas juga dalam menyelesaikan masalah dalam hidup ini. 

Namun sekali lagi, ini adalah opini pribadiku karena pernah dalam suatu masa, aku hanya di rumah dan bisa dibilang ga ngapa ngapain, lalu.. otak berasa kopong dan akunya berasa pah poh, tidak sat set das des.

4. Bekerja sebagai kebutuhan untuk aktualisasi diri

Bekerja, membantu orang lain, menghasilkan, terlebih punya kesempatan untuk berkembang sungguh menyenangkan. Dalam hal pekerjaan, setelah melalui hari yang rewo namun bisa terlewati dengan baik, ada perasaan puas dalam diri. Hal itu membuatku senang dan berefek dapat memberikan vibes positif saat bersama dengan anak.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, pikiran untuk resign rasanya hanya hinggap sedetik lalu pergi. Tapi harus diakui, hal ini juga sangat dipengaruhi oleh tempat kerja dan kondisi keluarga. Suamiku sangat mendukung untuk bekerja karena beliau memahami tingkat stres ku. Puji Tuhan juga tempat kerjaku ini amat-sangat family friendly. Meski harga yang dibayarkan untuk mendapat tempat kerja seperti ini juga mahal... yaitu.. jauhhhh dari kampung halaman. Juauh puuoool ! 

Kembali lagi terkait sebuah pilihan, teringat curitan Mark Manson di twitter :

The person you marry is the person you fight with.

The house you buy is the house you repair.

The dream job you take is the job you stress over.

Everything comes with an inherent sacrifice - whatever makes us feel good will also inevitably make us feel bad.

Pemaknaanku terhadap tulisan itu adalah, apapun pilihannya, semua akan diikuti dengan segala konsekuensi dan pengorbanannya. Jadi mau memilih sebagai apa dan bagaimana, sepaket juga dengan positif negatif yang dipilih. Juga, pilihan antar orang sangatlah subyektif, ada yang cocok begini, ada yang cocok begitu. Dalam konteks ibu bekerja atau tidak, bagiku semua sama baiknya dan bukanlah sebuah kompetisi, jadi tolok ukurnya ya diri sendiri bukan orang lain (sebuah pengingat untuk diriku sendiri juga nih).

Demikian tulisan ini dibuat setelah sekian lama tidak menulis karena mager :,) 

*seru juga ternyata kembali menulis menuangkan unek unek yang ketahan di otak :D meski harus buka laptop kalau mau nulis. Tadi sebenernya mau ngetik pakai HP, tapi mendadak eror. Hadeh.



Pilihan untuk Menjadi Ibu yang Bekerja

Menjadi ibu itu capek ! Serius, melelahkan. Sebagai seorang ibu, mau bekerja atau full time di rumah, tetap saja melelahkan. Beberapa waktu...