Thursday, April 5, 2018

Lasagna untuk Kenanga (part 2)

Akhirnya jam istirahat tiba. Aku dan teman-temanku berhamburan ke luar kelas untuk menuju ke kantin. Sesampainya di kantin, aku melihat sosok yang asing di mataku. Mataku tidak bisa teralihkan karena dia sangat menarik perhatianku.

Rambutnya diikat tinggi dengan poni ke samping. Tidak terlalu rapi, beberapa rambut kecilnya jatuh tidak beraturan, ia menggunakan kacamata kotak berwarna hitam, mirip sepertiku. Kulitnya kuning dengan beberapa freckles yang menghiasi pipinya. Dia menggunakan kaos polo shirt  berwarna merah dengan celana kain dan sepatu sneakers. Tas ransel bertengger di samping tempat duduknya. Dia tidak melihatku, dia sedang menulis sesuatu di buku catatan kecil berwarna biru miliknya.

Aku dan teman2ku mengambil tempat duduk di meja depan dirinya. Aku melihatnya dari ujung mataku sedangkan dia asik dengan catatannya.

Tidak berapa lama kulihat seorang pria menghampirinya. Aku mengenal laki-laki itu. Kami sama-sama berkuliah di jurusan teknik informatika, namun aku yakin.

“Hai, Anisa” sapa lelaki itu.

Anisa, nama yang asing di telingaku.

“Hai Toni” dia memberikan senyumnya. Manis.

***

Sejak saat itu aku sering melihatnya di kantin. Seperti hari ini, aku melihatnya dari kejauhan, pada jam makan siang dia kembali duduk di tempat yang sama. Tapi kurasa ada yang lain. Dia tidak menulis di catatan kecilnya. Dia hanya duduk melamun sampai temannya menyapanya. Mereka sempat ngobrol sebentar sampai akhirnya aku lewat di depannya.

Aku sangat gugup bila berdekatan dengannya. Ketika melewatinya saja, aku bersama dengan teman-temanku supaya rasa gugup itu hilang. Aku sering melihatnya lewat sudut mataku, supaya dia tidak mengetahui bahwa aku memperhatikannya.

Beberapa aku aku mencoba mencari tahu tentangnya, namun aku sangat sulit menemukan social media atas namanya. Aku hanya menemukan facebook miliknya.

Anisa Putri.

Mahasiswi jurusan manajemen.
***

Aku berjalan menuju perpustakaan kampus untuk bermain game. Aku senang berada di perpustakaan karena selain wi-fi nya yang cukup kencang, aku dapat menyendiri dan memakan bekal makanku. Aku selalu membawa bekal makanan buatan ibuku. Ibuku adalah seorang ibu rumah tangga dan beliau senang memasak. Ibu rutin menitipkan jajanan buatannya di toko dekat rumah setiap pagi. Dan setiap pagi pula, aku selalu mengambil salah satu makanan favoritku. Lasagna. Cemilan yang cukup mengenyangkan, cocok untuk snack sore ketika aku selesai kuliah.

Aku senang duduk di ruang belajar, sebuah ruangan yang cukup luas dan biasa untuk berdiskusi atau mengerjakan kelompok. Pada sore hari, ruang belajar sepi, karena mahasiswa lain lebih senang nongkrong di  cafĂ© atau tempat makan yang ngehits. Dari ruang belajar ini pula, aku melihatnya lagi.

Anisa.

Dia duduk di ruang komputer yang berada tepat di depan ruang belajar. Dia sendirian berkutat dengan layar komputer yang ada di hadapannya sambil sesekali mencatat di buku kecilnya itu. Hal ini membuatku semakin betah untuk berada di perpustakaan.

Ini bukan kali pertama aku bertemu dengannya. Aku sering melihatnya di ruangan komputer itu. Aku mulai membuka notebook kecil milikku. Aku cukup terkejut ketika dia berjalan ke arahku. Jantungku terasa seperti hentakan ribuan kuda yang berlari dengan kencang. Aku yakin, mukaku pasti sangat pucat. Aku melihatnya berada di rak buku samping meja tempat aku duduk. Ingin rasanya aku menyapanya, dan membantunya mencari buku karena kulihat dia sangat serius dalam memilih buku.

Woe, Nang, kamu di sini to. Nanti datang kan ?” temanku menyapaku. Aku terkejut mendengar sapaan itu. Nanang, itu namaku. Kependekan dari Kenanga. Kenanga Saputra. Teman-teman biasa memanggilku Nanang. Aku yang membuat nama panggilan itu agar mudah diingat dan terasa akrab di telinga. Kenanga, mungkin nama yang cukup unik terutama untuk seorang pria. Orang tua ku memberi nama kenanga, yang memang berasal dari bunga kenanga. Aku lahir di Filipina, saat itu ayahku melanjutkan pendidikannya di sana. Dan aku juga baru mengetahui bahwa bunga kenanga berasal dari Filipina. 

Yo I, bro. Nanti datang dong, di lapangan kan” jawabku. Aku harus tetap tampak stay cool, padahal aku kaget setengah mati.

Itu adalah temanku, Rio. Dia berasal dari jurusan yang sama denganku. Kami juga bersama-sama mengikuti fotografi. Aku sangat senang dengan fotografi, terutama foto matahari tenggelam. Hal ini karena tidak sulit untuk memfoto obyek yang memang sudah bagus dengan teknik fotoku pas-pasan atau lebih tepat asal-asalan.

***

Pukul 18.30 aku sampai di lapangan tempat kami melakukan kegiatan fotografi. Dari kejauhan aku melihatnya, Anisa, sedang rapat bersama dengan teman-temannya. Aku segera merapikan rambutku yang terkena angina ketika mengayuh sepeda cepat-cepat. Aku harap aku bisa mendapat kesempatan untuk sedetik membalikkan badan dan mengambil gambarnya. Tapi mana mungkin, berjarak sekitar 50 meter darinya saja aku sudah salah tingkah.

***

Aku bertemu dengannya lagi hari ini di perpustakaan. Dia sangat manis dengan kemeja berwarna biru, jaket jeans dan celana kain pensil berwarna hitam. Rambutnya diikat tinggi, seperti biasa, namun hari ini terlihat lebih rapi. Aku juga melihat dia menggunakan anting-anting panjang yang sangat cocok dengan bentuk wajahnya. Bibirnya juga berwarna lebih terang dari biasanya. Hari ini dia terlihat berbeda dan.. sempurna J
***

Hari ini kelas dimulai terlambat dan selesai terlambat pula. Pukul 17.00 kami baru selesai kelas. Aku merasa cukup sedih karena hari ini aku tidak bisa melihat Anisa, dari kejauhan. Aku memutuskan untuk pulang ke rumah karena hari sudah mulai gelap.

Dalam perjalanan pulang, aku melewati lapangan tempat kami biasa kumpul fotografi. Di sana aku melihat Anisa, sedang duduk di gazebo. Dia tampak sangat sedih. Tangannya menggenggam sesuatu. Tanpa pikir panjang aku langsung mengayuh sepedaku ke dekat gazebo. Aku sangat canggung sampai-sampai tak sengaja kubunyikan bel sepedaku. Dia tampak kaget dan melihatku. Namun aku tidak berani menatapnya, aku hanya meliha dari ujung metaku. Aku pun turun dari sepeda.

Aku sangat gugup. Aku merasa deg-deg an. Aku langsung mengeluarkan kamera dan memfoto-foto matahari yang tenggelam untuk mengehilangkan rasa canggung. Aku bersyukur karena aku selalu membawa kamera milikku ke manapun aku pergi, kalau-kalau ada momen yang indah yang tiba-tiba datang.

Aku berpura-pura asik memfoto ketika kudengar ada langkah kaki yang mendekatiku.

“Hai. Ini buatmu” terdengar suara lembut dari telinga kananku. Aku langsung menoleh. Dan ternyata itu Anisa. Kami saling berpandangan selama beberapa detik. Selama beberapa detik itu pula, aku tenggelam dalam hitam bola matanya. Dia memberikan plastic mika berisi lasagna, makanan kesukaanku. Aku masih mengumpulkan nyawaku, berpikir apakah ini adalah sebuah kenyataan atau tidak.

Aku mengambil plastic mika tersebut. Belum sempat aku mengucapkan sepatah kata, dia langsung membalikkan badannya dan berjalan cepat menjauhiku.
Tanpa pikir panjang, akupun langsung berlari ke arahnya, menepuk bahunya, dan berkata,

Terima kasih. Kamu Anisa, anak manajemen itu kan ?

Dia tampak terkejut. Dan yang kuingat, senja tidak pernah menjadi seindah dan seromantis itu.

***


Hi guys ! thank you for reading my second part of this story. I feel happy by writing this story. How does it feel when you like someone then they like you back ? Maybe we don't realize, when we feel sad, think that we are alone, there is someone who cares with us. 
I have so many stories in my head, about conventual, about afterlife, but my friend said that it's controversial, so maybe love story like this is safer ^.^
Ok guys, thank you and happy reading my another story :D

Monday, April 2, 2018

Lasagna untuk Kenanga

Hi ! Happy easter for you all who celebrate it :D hope we can get bless and be a blessing to others. Amen J well, it’s midnight when I write this post. I am struggling with the pain of my furuncle at my armpit. I can’t sleep so I choose to do something happy to reduce the pain. And, yeah, write a happy story, about fall in love, because by feeling this character in this story can make me happy. Hahahhaa.. Happy reading !

***

“Kita putus aja ya”

“Ok”

Ya seperti itulah caraku dan pacarku mengakhiri hubungan kami. Berada dalam hubungan yang tidak sehat selama kurang lebih setengah tahun terakhir membuat kami capek sendiri. Kami sama-sama memiliki kesibukan masing-masing. Pacarku, Toni, adalah seorang mahasiswa teknik dan juga pecinta alam yang sedang sibuk untuk proyek ekspedisi Gunung Kerinci. Dia sudah memperjuangkan ekspedisi ini selama satu tahun belakangan, dan akhirnya perjuangan itu membuahkan hasil. Akhirnya kampus kami menyetujui untuk pengadaan ekspedisi dan ya.. energinya sangat terkuras untuk ini.

Aku Nisa, mahasiswi ekonomi yang juga sibuk mempersiapkan seminar ekonomi berskala nasional yang diadakan setiap lima tahun sekali, hal itu yang membuat kami berusaha dengan sangat keras agar acara ini berhasil. Recruitment panitianya saja berlangsung cukup ketat, dan puji Tuhan aku bisa masuk dalam kepanitiaan ini. Perlu perjuangan untuk bisa masuk dalam kepanitiaan, mengingat aku adalah mahasiswa yang tidak terlalu banyak mengikuti kegiatan di fakultas atau kampus.

Putus merupakan pilihan terbaik bagi kami saat ini. Paling tidak, kami bisa fokus pada kegiatan kami masing-masing. Toni dengan ekspedisinya, aku dengan seminar nasional. 

Hubungan kami memang baru dua tahun dan terasa hambar selama satu tahun terakhir dan memberat dalam enam bulan. Dalam sehari hanya ada satu atau dua chat, tanpa telepon, apalagi pergi bersama. Jujur, aku merasa biasa saja dengan kondisi ini. Mungkin, karena kami memang punya kesibukan sehingga pikiran kami teralihkan untuk itu semua. Bahkan ketika dia memutuskan hubunganpun aku tidak merasa sedih atau kecewa. 

Kami memang bukan pasangan populer yang ngehitz dan menjadi relationship goals mahasiswa kampus. Hanya beberapa teman dekat satu jurusan saja yang mengenal kami. Berada di kampus yang cukup ternama, dengan gedung yang terpisah untuk setiap jurusan, sangat sulit untuk menjadi orang beken. Hanya penerima beasiswa seperti LPDP, mahasiswa aktivis, atau yang masuk akun instagram dengan embel embel 'cantik' saja yang bisa terkenal. Sedangkan aku, jauh dari semua itu. Aku menikmati hidupku sebagai mahasiswa biasa. Hahahhaa..

Setelah hubungan kami berakhir, aku merasa tidak ada perubahan yang signifikan. Hanya mungkin, aku kehilangan teman untuk makan. Saat ini aku duduk di kantin teknik, tempat mahasiswa teknik makan. Kakiku sudah terstimulus untuk tiba tiba datang ke tempat ini, tempat di mana aku dan Toni biasa makan siang. Namun kali ini berbeda, aku hanya duduk di sini seorang diri.

“Cieee.. masih ke sini aja. Sendirian ?” lamunanku terhenti ketika Rina, temanku datang dan menepuk bahuku.

“Hahaha.. iya Rin. Lupa kalo udah putus. Tiba-tiba aja aku ke sini. Hahaha..” jawabku jujur.

“Gila ya. Udah putus pake acara lupa-lupa segala. Segitu hambarnya banget sih kalian” jawab Rina sambil duduk di depanku.

“Hah ? maksudnya gimana Rin ?” tanyaku.

“Ya biasanya kan kalo udah putus itu ada sedih-sedihnya, ada galau-galaunya. Lha ini, malah lupa. Doohhh” balas Rina, “ya emang beda sih kalian, sama-sama udah gada rasa dari lama ya gini” lanjutnya.

“Iya ya Rin, biasa aja gt rasanya..” jawabku.

Kata-kataku langsung terhenti ketika aku melihat seseorang berjalan melewati meja tempat aku dan Rina duduk.

Seorang laki-laki, yang tidak aku ketahui namanya, mencuri perhatianku. Ia berjalan bersama dengan teman-temannya. Aku belum pernah melihatnya selama aku pergi ke tempat ini.

“Nis ? halooo ?” Rina memanggilku.

“Eh sori Rin, aku tadi liat itu lho, yang lagi lewat. Siapa sih ?” tanyaku.

“Mana ?” Rina melihat ke belakang “eh, itu kan pacarku. Hahhaa.. dah Nis” Rina langsung pergi meninggalkanku setelah bertemu dengan pacarnya, Robi. Rina adalah temanku satu fakultas yang juga berpacaran dengan anak Teknik. Kami biasanya pergi ke kantin teknik bersama-sama. Dan tentu saja, orang yang kumaksud bukan Robi, karena aku sama sekali tidak mengenal laki-laki yang baru saja lewat di depan mataku.

Dia-yang belum kuketahui namanya- duduk bersama dengan teman-temannya. Aku mengamatinya dari atas hingga ke bawah. Bila dideskripsikan, dia tampak sangat mirip dengan tokoh Harry Potter ketika tahun pertama. Rambutnya cepak, agak panjang dan acak-acakan. Badannya bungkuk, sepertinya dia sering membawa tas berbeban berat. Ia menggunakan kacamata dengan frame kotak hitam yang tampak cocok dengan wajahnya yang berwarna sawo matang. Ia juga menggunakan jam tangan yang kulihat terlalu besar dan terlalu longgar untuk tangannya yang kurus.

Aku memandanginya dengan seksama. Kulihat dia mengeluarkan notebook nya yang kecil itu. Sesuai dengan badannya yang juga kecil, untuk ukuran laki-laki. Tingginya mungkin sekitar 160 cm, 6 cm lebih tinggi dariku.

Kulihat jam milikku yang sudah menunjukkan pukul 15.00. Aku harus bergegas menuju ke gazebo dekat lapangan kampus untuk rapat seminar. Sekali lagi kulihat dirinya, pria itu, dan aku berharap, semoga aku bisa bertemu lagi dengannya..

***

Hari Kamis pukul 12.00 aku melangkah ke luar kelas menuju ke perpustakaan kampus untuk mengerjakan beberapa tugasku sembari menunggu rapat seminar pukul 18.00. Jarak antara fakultasku dengan perpustakaan kampus tidak terlalu jauh dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki.

Setelah makan siang, aku bergegas untuk ke perpustakaan, di sana aku langsung menuju ke ruang komputer. Berjam-jam aku berkutat dengan tugasku. Tepat pukul 17.00, aku melihatnya lagi, pria yang kulihat di kantin teknik beberapa hari yang lalu. Namun kali ini ia datang sendirian. Kulihat dia duduk di ruang belajar dan mengeluarkan notebook kecil miliknya lagi. Dan tidak hanya notebook, tetapi dia juga mengeluarkan wadah bekal makanan. Aku tidak tahu pasti apa yang dia makan, dan untuk mengurangi rasa penasaranku, aku pura-pura mencari buku di rak samping meja tempat dia duduk.

Terasa sangat akward hanya untuk berjalan dari ruang komputer menuju ke ruang belajar. Langkahku sangat terbata-bata dan aku merasa ada yang aneh dari diriku. Tangan dan kakiku mulai mengeluarkan keringat dingin dan jantungku bergedup sangat kencang. Perutku sampai mual, seperti naik roller coaster. Pandanganku lurus ke depan, tapi ujung mataku melihatnya, dan hal ini yang menyebabkan aku hamper menabrak salah satu rak buku.

Ternyata kalo di film-film ada orang salah fokus itu gini rasanya…

Aku berpura-pura memilih buku sembari ujung mataku melihatnya. Aku benar-benar merasa aneh saat itu.

Untuk apa aku sampai seperti ini ?

Tetapi lagi-lagi, aku terstimulus untuk melakukannya tanpa berpikir panjang.

“Woe, Nang, kamu di sini to. Nanti datang kan ?” kudengar seseorang menyapanya. Aku langsung membuka telingaku lebar-lebar agar bisa mendengar mereka.

Nang ? namanya Nang ? Nang siapa ?

“Yo i, bro. Nanti datang dong, di lapangan kan ?” jawabnya.

“Ya di mana lagi.. di situlah. Eh kamu makan apa itu ?” kata temannya.

“Biasa.. hahahhaa” jawabnya. Aku mulai memposisikan diriku agar aku bisa melihat wajahnya. Jantungku semakin berdegup dengan kencang, aku bisa merasakan aliran darahku mengalir lebih cepat. Kulihat wajahnya dari dekat. Deretan gigi yang putih dan rapi dengan suara yang sangat medok. Kulihat lagi makanan yang ada di tempat makan berwarna biru miliknya.

Emm.. itu.. lasagna ?

“Itu lasagna ya ? setiap hari kamu bawa itu. Ga bosen ?” Tanya temannya.

“Engga bro. makanya makannya sehari sekali aja, biar ga bosen. Hahaha” jawabnya santai sambil tertawa. Tanpa sadar akupun ikut tersenyum mendengarnya.

“Dasar. Yaudah, aku duluan ya. Sampai jumpa nanti” temannya pun pergi.

Aku masih pura-pura melihat-lihat buku sambil memandanginya.

Kamu siapa ?

Tanyaku berulang dalam hati.

Kulihat jam di tanganku. Pukul 18.00. Akupun bergegas pergi dari rak buku dan mengambil barang-barangku untuk segera pergi ke gazebo, tempat di mana kami biasa mengadakan rapat. Sepanjang jalanku, aku berdoa, semoga lapangan yang dimaksud tadi adalah lapangan dekat gazebo. Aku berharap demikian, agar aku bisa melihat dirinya lagi.

Sesampainya di gazebo, aku sengaja mengambil posisi agar bisa menghadap ke lapangan. Aku melihat setiap orang yang berlalu lalang, harap-harap cemas siapa tahu ‘Nang’ datang. Kupakai kacamataku dan kulihat sekeliling dengan seksama, sedangkan telingaku mendengar rapat dan tanganku mencatat serta jantungku terasa deg-degan. Sedari tadi memang aku merasa badanku aneh  Tangan dan kakiku terasa dingin, jantung deg-deg an, dan peut mual. Hal-hal itu masih saja kurasakan. Sampai akhirnya kulihat seseorang lewat dengan membawa kamera DSLR. Itulah ‘Nang’.

Pernahkah kalian, ketika sedang berjalan di kerumuman dan berusaha mencari seseorang, disertai keanehan tubuhmu dan ketika kamu menemukan orang itu rasanya seakan-akan lega yang teramat sangat, seperti turun dari jalanan curam dengan kecepatan tinggi namun akhirnya selamat ?
Ya seperti itulah yang kurasakan.

Jadi kamu suka fotografi ya, Nang ?

Aku tersenyum melihatnya.
***

Perjalanan pulang setelah rapat terasa berbeda. Rasanya di atas motor aku ingin sekali berteriak-teriak kegirangan dan tertawa sekeras mungkin untuk meluapkan ekspresi kebahagiaanku. Aku melakukannya, satu kali, sebelum pandangan aneh orang-orang di sekitarku ketika lampu merah. Aku pura-pura innocent karena aku memakai masker sehingga tidak ketahuan. Hihii…

Dalam perjalanan aku melewati sebuah supermarket. Dan tanpa sadar, aku langsung membelokkan motorku ke sana. Aku sempat ngebleng untuk beberapa saat.

Ini kenapa deh aku sampe sini ? mau belanja apa aku ?

Pikirku dalam hati. Namun aku kemudian berjalan-jalan di sekitaran rak untuk mencari inspirasi. Sampai akhirnya, aku sampai pada rak pasta.

Lasagna.

Segera kucek dompetku untuk menghitun uang, kucek hp ku untuk mencari serep lasagna. Akupun pulang tanpa tangan kosong. Aku membeli bahan-bahan untuk membuat lasagna.

***

Pukul 06.00, aku bangun dan membuka-buka hp ku. Biasanya ketika kubuka hp ku, ada pesan singkat yang masuk. Ya, pacarku biasanya mengucapkan selamat pagi. Namun, beberapa waktu ke belakang hingga saat ini aku sudah tidak mendapatkannya lagi. Akupun membuka laman facebook untuk mengecek beberapa pemberitahuan. Tiba-tiba aku kepikiran untuk mencari tahu mengenai ‘Nang’.

Aku mengecek di friend list beberapa temanku yang ngehitz di kampus karena siapa yang tidak berteman dengan mereka ? namun hasilnya nihil. Aku tidak tahu nama lengkapnya dan tidak ada data tentang dirinya sama sekali. Aku berpikir keras agar bisa mendapat informasi, paling tidak, tentang namanya.

Kemudian aku teringat bahwa ia mengikuti kegiatan fotografi. Aku langsung membuka profil facebook klub fotografi kampus, dan kucari satu-satu di list membernya. Karena tidak mengetahui nama, aku membuka profil setiap orang yang menjadi member.

Akhirnya ketemu.

Kenanga Saputra.

Itulah namanya.

Jantungku terasa hampir lepas dari rongga dadaku. Perutku kembali mual, tangan kakiku terasa  sangat dingin. Aku langsung bersembunyi di balik selimut dan kakiku bergerak-gerak kegirangan.

Terima kasih facebook. Sungguh, terpujilah engkau Mark Zukeberg.

Teriakku dalam hati. Akupun menjelajahi profil facebook nya. Kulihat awal hingga akhir postingan. Ternyata dia tidak terlalu banyak memposting segala sesuatu, paling banyak hanya foto-foto matahari tenggelam hasil karyanya. Lucu, karena ketika aku menemukan seseorang yang bertanya kepadanya, 'kenapa kamu suka foto matahari tenggelam ?' jawaban Kenanga cukup simpel, 'soalnya obyeknya aja udah bagus. Gaperlu susah-susah pake teknik foto juga hasilnya tetep bagus'. Aku mengangguk dan tersenyum setuju. Akupun berpikir apakah aku harus add facebook miliknya. Belum sempat kulakukan, aku segera menutup facebook ku dan siap-siap menuju ke kampus.

Aku mulai melakukan mix and match sebelum berangkat ke kampus. Hal yang tidak pernah kulakukan selama masa perkuliahanku. Aku memilih untuk menggunakan kemeja berwarna biru, dengan jaket jeans yang sudah lama tidak kugunakan, celana kain berbentuk pensil berwarna hitam dan sepatu sneakers. Akupun mengikat rambutku tinggi dan kurapikan poniku. Tak lupa, aku memasang anting-anting andalanku dan mengoleskan lipstick nude. Berkali-kali kuputar badanku untuk melihat diriku di kaca. Tak hanya itu, akupun latihan senyum, ya.. kalau-kalau.. aku bertemu ‘Nang’ alias Kenanga hari ini.

Halo J  

Emm.. engga, gausah kliatan  gigi.

Haloo..

Terlalu berlebihan.

Hai.

Kalo ini sok cuek.

J

Aduh, lipstick ku belepotan.

Begitulah aku ketika berusaha untuk tersenyum kalau-kalau bertemu Kenanga hari ini. Aku bertekad untuk memberinya sebuah senyuman ketika bertemu. Meskipun tampak akward, paling tidak, aku sudah berusaha.

***

Hari ini hari Minggu. Aku bertekad untuk membuat lasagna dengan bahan-bahan yang sudah kubeli beberapa saat yang lalu. Aku baru pertama kali ini memasak lasagna namun aku harap percobaanku ini berhasil. Aku ingin memberikan lasagna buatanku kepada Kenanga, atau yang biasa disebut dengan Nanang.

Aku baru mengetahuinya setelah beberapa kali kepo facebook miliknya. Tidak, aku belum memiliki keberanian untuk klik add as a friend. Aku bersyukur dengan adanya sosial media, terkhusus facebook, sehingga aku bisa mengetahui mengenai seseorang dari sana. Hal ini juga dipengaruhi karena aku tidak memiliki instagram atau twitter. Aku jadi mengetahui mengenai pemberian nama Kenanga yang dikarenakan kelahirannya di Filipina, dan bunga kenanga berasal dari sana. Aku juga mengetahui tentang hobi, bahkan pendidikannya dari SD hingga kuliah lewat facebook. Ternyata dia adalah seorang mahasiswa teknik informatika, mungkin itu sebabnya dia selalu membawa notebook ke manapun ia pergi. Hahaha.. sangat mengerikan tingkat kekepoanku ini.

Beberapa kali aku bertemu dengan Kenanga di perpustakaan. Aku mengetahui bahwa dia senang pergi ke sana untuk mengerjakan tugas atau sekedar nge game Dota. Dan lagi-lagi, aku hanya bisa melihatnya dari dari ruang komputer. Memang, setiap aku melihatnya dia pasti membawa kotak makanan kecil berisi lasagna.

Meskipun aku bisa melihatnya, namun tak sekalipun aku berani menyapanya. Aku hanya bisa memandanginya, tanpa memberinya sebuah senyuman. Bila melihatnya saja, semua keanehan tubuhku kembali. Keringat dingin, deg-deg an, dan mual.

***

Percobaan pertamaku dalam membuat lasagna ternyata berhasil karena pada dasarnya aku adalah orang yang senang memasak berbagai masakan, mulai dari kue hingga pasta. Meski bentuknya tidak secantik buatan toko, namun rasanya boleh diadu. Aku memotong-motong lasagna ku ke dalam beberapa tempat makan mika untuk kubagi-bagikan kepada teman-temanku keesokan harinya. Dan mereka pun berpikir sama denganku.

“Plis, Nis. Ini apaan deh bentuknya kayak gini” kata Rina.

“Cobain dulu lah. Baru komen” jawabku. Rina langsung mengambil sepotong lasagna.

“Eh gilak. Enak cooy” Rina mengunyah makanan dengan semangat, “ini baru namanya don’t judge a food by its shape. Hahaha..”

Mendengar hal itu aku menjadi cukup percaya diri menyisakan satu potong untuk kuberikan kepada Kenanga. Aku membagi-bagikan lasagna ku kepada sepuluh orang temanku, dan mereka semua berkata lasagnaku enak dan hanya empat diantaranya yang mengatakan bentuknya mengerikan.

Menjelang sore setelah kelas, aku bergegas menuju ke perpustakaan dan menunggu Kenanga datang. Biasanya, ia datang sekitar pukul 16.00, kecuali hari Kamis dia datang pukul 17.00 karena jam 18.00 ia akan mengikuti perkumpulan fotografi.

Hai. Aku Nisa. Kamu Kenanga ya ? aku beberapa kali liat kamu di perpus, ini aku masak. Masih sisa satu. Buatmu. Hehe..

Ah, kepanjangan.

Hai. Aku Nisa. Kamu suka lasagna ya ? ini buatmu.

Aduuhh, keliatan kepo nya. Serem.

Hai. Aku masak nih, sisa satu.. gatau mau kasih ke siapa. Buatmu aja. Hehehe..

Aneh banget, ga kenal langsung kasih kasih aja.

Begitulah yang kulakukan sembari menunggunya datang. Latihan bicara untuk menyerahkan lasagna ini. Aku sudah latian di rumah namun belum menemukan kata-kata yang tepat.

Kulihat jam di tanganku yang sudah menunjukkan pukul 16.20 dan Kenanga belum juga datang. Aku kemudian berjalan-jalan ke seluruh bagian ruangan di perpustakaan, namun hasilnya juga nihil. Aku kemudian menunggu hingga pukul 17.00.

Kenanga tidak juga datang.

Perasaanku berubah menjadi khawatir. Entah mengapa hatiku berkata bahwa ia tidak datang ke perpustakaan hari ini. Aku pun keluar dari perpustakaan dan berjalan-jalan di sekitaran kampus, kalau-kalau aku melihat Kenanga. Aku pergi ke kantin fakultas teknik, namun tidak kutemukan juga batang hidungnya. Kemudian aku berjalan menuju ke laboratorium komputer tempat ia biasa praktikum, namun nihil pula.

Pukul 17.45 aku mulai mengurungkan niatku untuk memberikan masakanku kepada Kenanga. Aku berjalan menuju gazebo dekat lapangan untuk sejenak menghela napas dan beristirahat.

Matahari perlahan mulai tenggelam. Aku duduk di gazebo dengan tatapan sayu. Kupegang lasagna dan kupandanginya. Kemudian aku memutuskan untuk memakannya sendiri saja karena aku tidak bisa menemukan Kenanga. Ketika aku hendak membuka plastic mika, wadah lasagna, aku mendengar ada bunyi bel sepeda. Ketika kulihat dengan seksama.. ternyata itu Kenanga. Kenanga datang ke lapangan dengan menggunakan sepeda dan membawa kamera. Ia ingin memotret sunset, kesukaannya.

Tanpa pikir panjang, aku langsung berjalan menuju ke arahnya. Jantungku berdegup kencang, lebih kencang dari biasanya, mataku berkunang-kunang, bibirku terasa sangat kering karena napasku yang ngos-ngosan.

Ketika aku sampai di samping Kenanga, ia menolehkan wajahnya kepadaku, sebelum aku sempat menyapanya. Ia melihatku di balik kacamata kotaknya.

“Hai. Ini buatmu” ucapku terbata-bata sambil menyerahkan plastic mika wadah lasagna.

Kenanga mengambilnya dari tanganku dengan wajah yang agak heran. Belum sempat dia mengucapkan kata-kata, aku langsung berbalik arah. Aku percaya mukaku pasti sangat merah karena menahan malu. Ketika aku membalikkan badan dan hendak melakukan jalan cepat untuk segera kabur dari tempat itu, Kenanga memegang pundakku dan berkata,

“Terima kasih. Kamu Anisa, anak manajemen itu kan ?”

Akupun terkejut ketika dia mengetahui namaku dan yang kuingat, senja tidak pernah menjadi seindah dan seromantis itu.

***

Thank you for reading my very long story :) actually I've been inspired about this story a long time ago, but I was too lazy to make it. I'm happy that I can retell this story which was repeating on my head :D  

Pilihan untuk Menjadi Ibu yang Bekerja

Menjadi ibu itu capek ! Serius, melelahkan. Sebagai seorang ibu, mau bekerja atau full time di rumah, tetap saja melelahkan. Beberapa waktu...