Wednesday, May 31, 2017

Kisah di Bangsal Cempaka

Hey guysss ! I made a short-yet-long-love-story again :)) inspired while having a shift in a hospital ward. Enjoy ! 

Bangsal Cempaka, 17 Januari 2017

“Nuryati ! Nuryati ! aaaaaarrrgghhhhh.. adooohhh.. sakit kepalakuuuu”

Sebuah erangan yang memekakkan telinga terdengar di bangsal Cempaka pagi itu. Pak Rudi, pasien kamar 3A, tak henti-hentinya mengeluhkan nyeri kepala hebat yang dialaminya. Pak Rudi adalah salah satu pasien bangsal Cempaka, bangsal saraf, di sebuah rumah sakit swasta di Jogja. Pada usianya yang terbilang muda, yakni 35 tahun, ia harus mengalami penyakit stroke perdarahan yang membuatnya harus mendapatkan penanganan craniotomy –bedah otak, untuk menghilangkan perdarahan di kepalanya.

“Iya Pak.. istirahat saja. Sebentar lagi obat anti nyerinya dibagikan” ucap perawat bangsal dengan sabar.

Entah brapa kali para perawat bangsal harus menenangkan Pak Rudi. Pasien yang mengalami post craniotomy memang akan mengalami nyeri kepala yang hebat. Tak hanya itu, mereka juga bisa mengalami gangguan kesadaran,  yang membuatnya tidak awas terhadap lingkungan sekitarnya. Mereka bisa mengeluarkan obrolan atau kata-kata yang tidak jelas dengan kondisi yang gelisah.

Bangsal Cempaka memang bukan tempat yang tepat bagi pasien seperti Pak Rudi. Pasien-pasien post craniotomy seharusnya mendapatkan penanganan lanjut di ruang Intensive Care Unit, namun karena keterbatasan biaya, Pak Rudi terpaksa ditempatkan di bangsal ini.

Sedangkan bangsal Cempaka sendiri adalah bangsal khusus penyakit saraf, berupa ruangan persegi panjang sebesar 7x6 m dengan 12 bed untuk pasien. Pasien yang dirawat di tempat ini adalah pasien yang bisa dibilang stabil, dengan tidak memiliki gangguan kesadaran dan pada umumnya  mereka masih dapat berkomunikasi dengan baik. Sehingga wajar bila pasien lain yang dirawat di bangsal ini mengeluhkan kesusahan tidur karena teriakan dan erangan Pak Rudi. Hal ini membuat para perawat mau tak mau juga harus menenangkan pasien lain yang merasa terganggu.

Jam menunjukkan pukul 7 pagi. Saatnya untuk keluarga pasien memasuki bangsal Cempaka untuk menyuapi para pasien. Di sini, keluarga tidak boleh berada di dalam bangsal, mereka ditempatkan di satu ruangan khusus penunggu pasien. Mereka hanya diperbolehkan masuk pada jam-jam tertentu, seperti pada waktu makan. Termasuk bagi keluarga Pak Rudi, yaitu Nuryati, istrinya.

“Mas, ini nasinya yuk dimakan..”ucap lembut Nuryati.

“Ha…. Opo koweeeee.. aku ki meh adus.. hahaha…” lagi-lagi Pak Rudi mengeluarkan kata-kata yang tidak nyambung. Nuryati hanya bisa menghela napas dalam-dalam melihat kondisi suaminya.

Nuryati adalah istri Pak Rudi. Ia berusia 5 tahun lebih muda dari suaminya. Mereka memiliki seorang anak laki-laki berusia 2 tahun buah cinta pernikahannya. Sehari-hari Nuryati bekerja sebagai buruh cuci sedangkan suaminya bekerja sebagai penjaga konter HP. Mereka tinggal di sebuah rumah sederhana hasil warisan dari almarhum orang tua Nuryati.

Nuryati termenung melihat suaminya yang berbaring di bed. Pikirannya melayang-layang, bagaimana ia harus membayar biaya rumah sakit. ‘untuk hidup sehari-hari saja sudah susah, bagaimana aku harus membayar semua biaya perawatan suamiku ?’ ucapnya dalam hati sambil memegang sendok berisi sesuap nasi.
***
Bu Rina. Seorang perempuan berusia 33 tahun yang mengalami stroke iskemik mulai masuk pagi ini. Ia mengalami gangguan berupa mulut perot dan kelemahan anggota gerak kanan. Hasil CT Scan menunjukkan adanya kematian jaringan pada otaknya. Bukan kali pertama Bu Rina harus menginap di bangsal Cempaka. Dua tahun yang lalu ia pernah mengalami penyakit yang sama, yaitu stroke. Perbedaannya, dulu ia mengalami kelemahan anggota gerak kiri. Meskipun sudah dinyatakan sembuh, namun anggota gerak kiri Bu Rina tidak bisa berfungsi secara maksimal. Hal inilah yang membuatnya menjadi orang yang cukup temperamental. Segala hal yang biasanya dilakukan sendiri, saat ini harus bergantung pada orang lain. Sebagai orang yang perfectionist, ia ingin segala pekerjaannya sempurna dengan hasil tangannya sendiri.

“Aku gamau makan tahunya ! Kamu tau kan aku ga suka sama tahu !” teriak Bu Rina kepada Pak Toni, suaminya yang sedang menyuapi sarapan pagi untuk Bu Rina.

Pak Toni adalah seorang pria berusia 34 tahun dan merupakan seorang PNS di Kota Yogyakarta. Istrinya, Bu Rina, adalah seorang wiraswasta yang memiliki usaha sprei yang cukup sukses, sebelum penyakit stroke menyerang dirinya. Setelah terkena penyakit itu, usaha sprei miliknya harus gulung tikar dan suaminya menjadi tulang punggung bagi istri dan seorang anaknya masih berusia 5 tahun.

“Iya, bu.. tapi tahunya harus dimakan.. biar cepet sehat..” ucap Pak Toni sabar.

“Ahhh.. kamu itu ga berguna ! Udah pergi aja ! Aku mau tidur aja ! Dari kemarin aku gabisa tidur gara-gara ada yang berisik !!” amuk Bu Rina sambil mengarahkan matanya ke bed Pak Rudi.

Nuryati hanya bisa memandang Bu Rina dan Pak Toni dengan tatapan malu.

"Sudah bu.. sekarang istirahat saja. Makannya nanti lagi" kata Pak Toni menenangkan.

"Iya udah kamu pergi sana !" usir Bu Tina.

Pak Toni kemudian melangkah ke luar ruang Cempaka. Sesampainya di ruang tunggu keluarga pasien, Pak Toni termenung. Ia menghela napas panjang menghadapi isrinya yang suka marah-marah sendiri.


"Entah sampai kapan aku harus merasakan amarah dan menjadi pelampiasan kekesalan istriku ?"

Lamunan Pak Toni terhenti ketika ada seseorang yang menepuk bahunya.

"Maafkan suami saya, pak" ternyata Nuryati yang menepuk Pak Toni, menyapa dengan mata berkaca-kaca.

"Oh, tidak apa apa bu. Namanya juga orang sakit. Saya juga minta maaf atas ucapan istri saya yang kurang berkenan.." jawab Pak Toni.

"Tapi tetap saja saya merasa tidak enak, Pak... suami saya terkena stroke perdarahan dan kepalanya dibedah.. jadi mungkin karena itu suami saya jadi gelisah, berisik, dan mengganggu..." ucap Nuryati terbata-bata.

"Sudah bu, tenang.. istri saya juga di rumah sudah susah tidur.. apalagi keadaa  sakit seperti ini makin susah dia.. jadi tidak perlu Ibu... maaf, siapa nama anda ?" tanya Pak Toni.

"Nuryati"

"Toni" 

Mereka berdua pun berpandangan sambil berjabat tangan. Sejenak sekeliling terasa hening. Mereka hanya terpaku bertatapan. 

"Eng.. jadi tak perlu ibu Nuryati merasa bersalah" kata Pak Toni memecah keheningan.

"Ah.. panggil Nuryati saja, Pak.." senyumnya.

"Hahaha.. baiklah, bu.. eh.. Nuryati" Pak Toni balas melempar senyum.

Mereka berdua kemudian duduk di ruang tunggu sambil berbincang. 

"Tinggal di mana, Nur ?" Tanya pak Toni.

"Di jalan damai, dekat mall besar itu, pak.." 

"Wahh.. sering jalan-jalan ke mall dong.."

"Hahaha.. tidak. Ga punya uang. Kebetulan suami saya berjualan pulsa di konter kecil seberang mall itu. Bapak bekerja di mana ?"

"Saya bekerja di kantor kelurahan.. itu di..” belum sempat ia melanjutkan perkataannya, terdengar suara.. ‘krucuk krucuk’. Ternyata suara itu berasal dari perut Pak Toni, yang belum makan seharian ini.


Sambil tertawa kecil Nuryati berkata, “Wah, lapar ya, Pak ? Ini saya tadi pagi sempat memasak sayur sop dan tempe garit. Mungkin bapak mau..” Tanpa menunggu jawaban dari Pak Toni, Nuryati   langsung mengeluarkan rantang bertingkat miliknya dan mulai menata makanan.

“Wah, langsung disuguhi begini mana bisa saya menolak. Hahaha..” Pak Toni tersipu malu.
  
Mereka kemudian mulai makan bersama dan berbincang-bincang.

“Sudah lama saya tidak merasakan masakan rumah seperti ini. Biasanya sebelum bekerja saya sarapan dulu di warteg depan kantor.. hehe..” ucap Pak Toni.

“Loh.. memangnya istri bapak tidak memasak ?” Tanya Nuryati.

Pak Toni terdiam sejenak dan menjawab, “Istri saya 3 tahun lalu terkena stroke.. hal itu menyebabkan bagian tubuh kirinya lemas. Jadi malah saya yang masak kalo sempat.. hahaha…”

“Wah, maaf atas pertanyaan saya yang kurang berkenan, Pak..”

“Hahaha.. tidak apa-apa, Nur. Hmm.. masakanmu enak sekali” kata Pak Toni sambil memasukkan makanan ke dalam mulutnya.

“Terima kasih banyak, Pak” jawab Nuryati sambil tersenyum.

***

Begitulah awal perkenalan Nuryati dengan Pak Toni. Semenjak saat itu, mereka jadi sering berbincang di ruang tunggu keluarga pasien. Tak hanya itu, mereka berdua juga masuk bersamaan ke bangsal Cempaka untuk menyuapi makan bagi pasangan mereka masing-masing. 

"Mas, ini makan dulu" ucap Nuryati kepada suaminya.

"Hahahahha.. adohh.. sirahku mumet tenan iki. Jaaaannn.. mumet pool" Pak Rudi mengerang kesakitan.

Nuryati hanya bisa diam melihat kondisi suaminya, ia tak tahu harus berkata apa. Pandangannya lalu mengarah ke depan. Ternyata tanpa ia sadari Pak Toni, yang juga  sedang menyuapi istrinya, melihat Nuryati. Sejenak mereka berpandangan dan saling melempar senyum malu.


“Nuryati, makan di luar yuk” ajak Pak Toni setelah keluar dari bangsal Cempaka.

Nuryati menoleh dengan senyum, “Ah, terima kasih, tidak usah, Pak. Saya sudah membawa makanan. Eng.. saya membawa makanan juga untuk Pak Toni”.

“Wah.. Baiklah. Bagaimana bila nanti siang makan di luarnya ?”

Nuryati hanya mengangguk sambil tersipu.

***
Pagi itu tidak seperti biasanya. Pukul 06.00 Pak Toni sudah menuju ke kamar mandi dekat ruang Cempaka, yaitu tempat di mana para penunggu pasien biasa membasuh diri. Pak Toni mandi dan tak lupa menyemprotkan parfum yang baru saja dibelinya. Tak lupa Pak Toni menyanyikan lagu gembira dan bersiul-siul dengan ceria. Sudah lama ia tidak merasakan perasaan seperti ini, seperti ketika muda.

Jam sudah menunjukkan pukul 07.00. Seperti biasa keluarga pasien diperbolehkan masuk ke ruang Cempaka untuk menyuapi pasien. Namun kali ini Pak Toni melihat pemandangan yang  “tidak biasa. Nuryati tidak ada di tempat untuk menyuapi suaminya. Yang tampak adalah seorang pria separuh baya, mungkin usia 25 tahun an. Pak Toni mulai menyapa pria tersebut,

“Maaf, sepertinya saya baru melihat anda di sini. Biasanya istrinya yang datang ?”

“Kakak ipar saya, Mbak Nuryati, kebetulan sedang sakit. Saya diminta untuk menemai mas Rudi. Bapak siapa ?” tanya pria tersebut.

“Saya Toni. Saya menemani istri saya di sini. Sakit juga. Hehehe… tumben kok ga lihat bu Nur, biasanya saya hapal dengan orang-orang di sini” jawab Pak Toni. “Kalau boleh tau,bu Nur sakit apa, mas ?” lanjutnya.

“Masuk angin aja, Pak. Kecapaian mungkin” jawabnya.

Pak Toni hanya berdiam diri. Pria yang merupakan adik dari Pak Rudi pergi meninggalkannya. Sepanjang hari Pak Toni merasa ada sesuatu yang hilang.

Pak Toni terus berpikir,

‘mengapa hari ini aku merasa sangat sedih ? Apakah karena aku melihat kondisi istriku yang sama persis seperti beberapa tahun yang lalu ? Oh Tuhan, tolong kuatkan hambaMu. Kasihanilah istriku, ia sudah kehilangan banyak hal dengan kelemahan di bagian kirinya.. dan sekarang Kau beri cobaan lagi… Tuhan, tak pantaskah ia, kami….. atau aku merasakan kebahagiaan ? usiaku baru 34 tahun dan aku berhak untuk mendapatkan sebuah kebahagiaan. Aku berhak untuk dihargai, bukan diinjak-injak atau disuruh-suruh. Aku berhak untuk menjadi seorang pemimpin….. Ahhh.. aku merasa sangat kesepian. Biasanya ada Nuryati untuk bisa aku ajak bicara dan berdiskusi tentang pekerjaanku.. sesuatu yang.. tidak bias kudapatkan dari istriku… kalau misalnya Nuryati datang, apakah aku akan tetap merasa sedih seperti saat ini ? hari ini, seperti ada yang kurang.. Apakah aku mulai menyukai Nuryati ?’

***
Bangsal Cempaka, 27 Januari 2017

Sudah 3 hari ini Nuryati tidak datang ke rumah sakit. Pak Toni hanya bias terduduk lemas di ruang tunggu sambil menatap ke televisi. Meskipun demikian, pikirannya kosong.

“Siang, Pak” ucap lembut seseorang membuyarkan lamunan Pak Toni.

“Nuryati ! Terasa lama sekali tidak bertemu denganmu. Bagaimana sakitmu ? Aku.. sangat mengkhawatirkanmu…” ucap Pak Toni sambil memegang tangan Nuryati.

Nuryati hanya bisa memandang Pak Toni dengan sayu.

***
Rumah Nuryati, 24 Januari 2017

Nuryati duduk terdiam di dipan rumahnya. Matanya menerawang ke depan, pikirannya melayang-layang. Sudah 1 minggu sejak perkenalannya dengan Pak Toni yang membuat hatinya kalut. Terngiang kata dokter bedah saraf yang menangani suaminya,

‘Bu, ini bapak kan sudah saya ambil perdarahan di otaknya. Kita berharap hasilnya baik. Tapi sebaik-baiknya hasil yang terjadi, bapak ada kemungkinan tidak bisa seperti dulu lagi, yang mungkin dulu ngapa-ngapain bisa sendiri saat ini ya harus didampingi, gatau sampai kapan. Karena begini ibu, perdarahan bapak ini cukup luas dan letaknya sulit. Begitu ya ibu, mohon kesabarannya’

Nuryati hanya bisa bepikir, ‘Ya Tuhan, bagaimana mungkin aku yang seorang buruh cuci harus menghidupi anak dan suamiku ? Mengapa Engkau memberikan cobaan yang begitu besar kepadaku ? Aku masih muda, usiaku baru saja 30 tahun dan anakku juga masih kecil. Aku juga ingin bahagia seperti keluarga lain … Mengapa aku harus bertemu Mas Rudi, mengapa aku harus menikah dengannya ? mengapa dia harus terkena penyakit yang berbahaya ?’

Kalimat itu terus terngiang di benak Nuryati. Pikirannya berlanjut mengingat pertemuannya dengan Pak Toni.

‘Apakah pertemuanku dengan Pak Toni adalah sebuah kebetulan, Tuhan ? Setiap hari bertemu dengannya. Jujur, ia adalah orang yang membuatku bersemangat untuk setiap hari datang ke rumah sakit. Apakah ini sebuah hal yang benar ?’

***
Bangsal Cempaka, 30 Januari 2017

Pintu keluar bangsal Cempaka terbuka. Tampak Nuryati sedang mendorong kursi roda dari bangsal Cempaka menuju ke arah pintu keluar.

“Terima kasih bapak ibu perawat,” ucap Nuryati sambil tersenyum kepada penjaga bangsal pagi itu.

“Iya sama-sama, bu. Semoga bapak lekas sembuh,” jawab salah satu perawat.

Hari ini adalah hari kepulangan Pak Rudi. Meskipun belum sembuh, namun Nuryati meminta kepada para petugas medis untuk bisa membawa Pak Rudi pulang dengan alasan keterbatasan biaya. Hutang Nuryati sudah di mana-mana dan harta bendanya sudah terjual untuk membayar biaya rumah sakit Pak Rudi karena mereka belum mengikuti asuransi kesehatan atau BPJS. ‘Saya tidak tau tentang hal itu’ jawab Nuryati ketika para perawat menanyakan mengenai jaminan kesehatan yang dimiliki.

Sebelum keluar dari pintu bangsal, Nuryati bertemu dengan Pak Toni.

“Hati-hati di jalan, Nur” kata Pak Toni.

“Terima kasih, Pak. Semoga bu Rina lekas sembuh” jawab Nuryati singkat. Nuryati sengaja tidak mau memandang Pak Toni. Tatapannya hanya menunduk ke bawah.

‘Ini yang terbaik. Aku tidak bisa lebih lama lagi di sini. Lebih lama di sini berarti aku harus bertemu dengan Pak Toni. Aku tidak mau perasaan ini tumbuh subur. Aku sudah memiliki suami. Dan aku sudah berjanji padanya, kepada keluarganya, dan kepada Tuhan. Bahwa aku akan bersamanya dalam keadaan suka dan suka, kaya dan miskin, sehat ataupun sakit’

Nuryati pun kembali mendorong kursi roda suaminya keluar dari bangsal Cempaka.






Pilihan untuk Menjadi Ibu yang Bekerja

Menjadi ibu itu capek ! Serius, melelahkan. Sebagai seorang ibu, mau bekerja atau full time di rumah, tetap saja melelahkan. Beberapa waktu...