Wednesday, February 22, 2017

Stay - Noodle



Stay. The first thing that I thought about stay is a struggle. How I can keep having a faith, even though, maybe, the world doesn’t in my side. This makes me think again.
Am I should keep staying for every thing ? Is staying always referred a positive thing ? When to decide to stay or leave ?
***
I love eating noodle. I love it that I can eat it every day. But, is it good for health ? I believe that many people can relate to this problem.
I read a short research about it :

Instant noodle is not easily digested in the body then the digestive tract has to work harder. If the instant noodle stays in the digestive tract for a long time, it will affect the absorption others nutrition. Besides, instant noodle has no nutrition for the body. Otherwise, the body will absorb additive substance, include toxic substance from preservatives, for example, tertiary-butyl hydroquinone (TBHQ).

TBHQ is a synthetic antioxidant chemical substance. It’s usually used in instant noodle, but this substance can be found in the non-food material, such as pesticide, cosmetic, and perfume because its character to reduce evaporation.

Five grams of TBHQ is dangerous for the human body because it can cause nausea, vomit, and hard breathing. People whose eat instant noodle more than two times a week has a high risk to get metabolism disease, for example, obesity, high blood pressure, increasing blood sugar, and high cholesterol. Besides, there is benzopyrene (substance caused cancer) in some of the instant noodles (gizi.depkes.go.id).

There are many researches to find out a relation between instant noodle and health. A study in Harvard said that instant noodle consumption linked to heart risk in women (www.hsph.harvard.edu). Another study said that instant noodle intake and dietary patterns are associated with distinct cardiometabolic risk factors in Korea (Shin et all, 2014).

The high risk of heart disease with people that consume instant noodle is linked with salt level. The amount of salt in instant noodle in Australia is higher than eight packets of Smith’s salted potato chips and two Big Macs in common or it’s containing more than 80% of the daily recommended maximum salt intake of five grams a day. Furthermore, the noodle product with the highest sodium content per 100g was found in Indonesia, containing 7584 mg per 100g, almost 30 times the amount of sodium found in those with the lowest sodium content in New Zealand (www.goodfood.com.au).

The amount of salt level can cause high blood pressure. The mechanism is complex, as far as I know, salt contains natrium/sodium, it bounds with water. Consumption much salt can make water that bound in salt is higher. This condition makes blood volume increasing but it doesn’t effect the wide of the blood vessel. Then blood will flow heavily and the blood pressure will increase. High blood pressure is like a gate to cardiovascular disease.
***
After reading about noodle, should I stay eat it every day ? Based on the theory, the answer is no because it’s bad for health. But deep down in my heart, the answer is yes since I love it too much.  Can I say there is a contradiction between the heart and logical ? Maybe we have faced this moment but in a different case.

Then, what to decide ?
It depends on myself, what I want to choose, but I have to face every consequence. But I have to remember, stay is not always the best answer. 

If it bad for myself or it can make my life get worse, should I stay ?
If it not worth it and have a bad effect, should I stay ?
If it makes me feel the pain, so-much-pain, should I stay ?

Stay is not always the best answer. Sometimes, leave, is.

Sunday, February 5, 2017

Dian

Hey guys ! I've been made a short yet long love story. hahaha.. hope you'll enjoy it ! :D


Namaku Dian. Pertengahan tahun ini usiaku menginjak 27 tahun. Usia yang cukup matang untuk menikah, kata orang-orang. Aku adalah anak kedua dari dua bersaudara. Masku, Bimo, adalah seorang dokter yang sudah berkeluarga dan saat ini menetap di ibukota. Sedangkan aku bekerja di sebuah bank swasta di tengah kota Yogyakarta.

Hari ini aku menjalani kehidupanku seperti biasa. Masuk kantor jam 7 pagi dan pulang jam 5 sore. Sebagai pegawai swasta kami dituntut untuk bekerja keras dengan tekanan yang cukup memusingkan otak.  Namun semua tidak terasa melelahkan karena aku menjalani perkerjaanku dengan gembira. ‘Do with love and love what you do’ kalau kata ibuku. Yah, meskipun setiap hari ada saja yang membuat atasanku berkacak pinggang. Seperti hari ini, dia menegur kami karena setelah rapat tidak ada yang mematikan lampu. Hihihi, ‘lagi PMS kali’ kata temanku sebal. 

Lamunanku terhenti setelah petugas TransJogja berteriak dengan nyaring bahwa bus sudah hampir sampai di shelter tujuanku. Turun dari terminal, aku langsung menuju ke pangkalan ojek dekat shelter bus.  Awan mendung dan rintik hujan membuatku malas untuk berjalan kaki menuju ke rumah, meskipun aku membawa payung. Biasanya aku memilih untuk berjalan dari shelter hingga ke rumah, mungkin sekitar 1 kilo jaraknya. Kata pacarku, setidaknya sempatkan waktu sekitar 30 menit tiap harinya untuk olahraga agar kesehatan tetap terjaga. Pegawai kantoran macam aku mana sempat pergi ke gym, ikut senam atau zumba ? Hahaha, jadilah aku memilih jalan kaki sebagai alternative olah raga. Namun kali ini engga deh. Rintik hujan semakin membasahi badanku dan aku buru-buru naik ojek tanpa ada tawar menawar harga.

Deru mesin ojek yang kunaiki sudah sampai depan rumah. Kuberikan selembar uang 20 ribuan untuknya. 

“Ini mbak kembaliannya” kata tukang ojek sembari mengeluarkan uang 5 ribuan dari dompetnya.

“Gausah pak. Ambil aja kembaliannya” kataku. Terkadang aku tidak tega melihat tukang ojek yang saat ini harus lebih bersaing ketat dengan adanya Gojek atau Uber.

“Wah, terima kasih banyak mbak !” ucap tukang ojek itu gembira.

Ucapan terima kasih tukang ojek hanya kubalas dengan senyum. Aku buru-buru mau masuk ke dalam rumah karena hujan sudah mulai menderas. Masuk ke dalam rumah, kulihat ibuku sedang duduk berbincang di ruang tamu dengan seorang laki-laki, mungkin seumuranku; namun aku tak mengenalnya. Belum sempat kuberi salam kepada ibuku, ibuku langsung berkata kepadaku,

“Dian, sini duduk dulu. Kenalin, ini Tomi, anaknya Tante Nur teman SMA ibu dulu”

Kuulurkan tanganku dan dengan senyum tipis aku mengenalkan diriku,

“Dian”

“Tomi” jawabnya sambil tersenyum.

“eng… mari” ucapku sambil berlalu. Entah mungkin aku terlalu lelah akan pekerjaanku atau aku terlalu malas untuk berkenalan dengan-siapa itu ? Tomi ?-, aku lebih memilih untuk langsung masuk ke kamarku.

Orang semacam Tomi bukan yang pertama, mungkin dia adalah laki-laki kesepeluh yang dikenalkan orang tuaku kepadaku. Meskipun keluargaku tahu aku sudah memiliki pacar sejak 6 tahun yang lalu, namun mereka tetap saja mencoba mengenalkan aku kepada orang yang mereka anggap lebih baik. Aku tidak mengerti, apakah karena pacarku berasal dari keluarga broken sehingga mereka kurang menyukainya ? Entahlah.

Tok tok tok .. ! Terdengar suara pintu kamarku diketuk.

“Dian, buka pintunya..” suara ibuku terdengar lembut.

“Iya bu ?” ucapku sambil membuka pintu kamar.

“Tolong buatkan teh ya untuk Tomi.. sama itu.. di lemari ada kue kering nanti kamu masukkan ke toples trus dibawa ke depan..” pinta ibuku sambil tersenyum dan membelai rambut panjangku.

“Iya bu.. untuk ibu, Dian ambilkan air hangat aja ya. Jangan minum yang manis-manis, ingat diabetes.. nanti Dian laporin ke mas Bimo lho.. hihihi” jawabku menggoda ibuku. Ibuku memang menderita sakit gula sejak 2 tahun yang lalu. Dan mas Bimo selalu memintaku dan ayah untuk mengawasi pola makan ibu.

“Aduh kamu ini.. Iya Dian.. muah. Ibu ke depan dulu ya” kecup ibuku.

Segera aku membuat teh hangat dan menyiapkan hidangan kue. Aku merasa sangat beruntung dilahirkan di keluarga ini. Aku memiliki ayah, ibu, dan kakak laki-laki yang sangat baik. Meskipun mereka sering mengenalkan aku kepada banyak pria dan belum bisa menerima pacarku, namun aku menyadari bahwa itu mungkin demi kebaikanku sendiri, yang sampai saat ini tidak bisa kumengerti. Aku merasa senang karena walau dikenalkan dengan berbagai pria, mereka tidak pernah meuntutku untuk menjalin hubungan dengan pria-pria tersebut. 

Selesai menyiapkan makanan dan minuman, aku mengantarkannya ke ruang tamu. Lagi-lagi, Tomi tersenyum hangat dan aku harus membalasnya dengan senyuman akward. Tak ingin berlama-lama berada di ruang tamu, aku langsung masuk kembali ke kamarku, sementara ibuku masih asyik berbincang dengan Tomi.

Jam menunjukkan pukul setengah 7 malam. Tak sabar aku membuka chat line, berharap pacarku menghubungi. Dan ternyata benar, senyum bahagia tak dapat lagi kutahan. Pacarku mengirimiku sebuah pesan singkat. Selama 6 tahun berpacaran aku selalu deg-degan tiap kali pacarku menghubungiku, baik itu hanya mengirim pesan atau telpon. Just like there’s butterfly flying in my stomach. Hehe..

Hei. How’s your day ?” itulah pesan singkat yang kuterima.

Pretty good, except Bu Arum yg spt biasa suka marah2. Hari ini dia marah gara2 kita lupa matiin lampu.. hahaha.. how’s your day eh ? :)balasku. Tak lupa kusisipkan emot senyum, ya, karena memang dia membuatku tersenyum. Selalu tersenyum.

“Biasa aja. Nothing special. Satu2nya yg bikin spesial ya cm ngeline km ini :p” jawabnya.

Hanya dengan membaca pesan seperti itu saja aku langsung merasa, lagi-lagi, the butterfly keeps flying and flying high in my stomach. Aku memang selalu mudah termakan gombalan pacarku yang sebenarnya mungkin tidak romantis. Kemudian kukirimkan sticker Brownie Conny berpelukan.

Thanks for always make me smile ya :)” jawabku. 

Kuhela napas dalam-dalam, mulai berpikir apakah aku perlu bercerita tentang Tomi, pria yang dikenalkan ibuku kepadaku. Dan akhirnya, seperti biasa, aku memutuskan untuk tidak menceritakannya kepada pacarku. Aku tak pernah mau bercerita tentang semua pria yang dikenalkan orang tuaku kepadaku. 

Karena pasti dia akan memintaku untuk mengikuti saran orangtuaku. 

Karena pasti dia akan memintaku untuk meninggalkannya.

Aku tak mau.

That’s why God sent me to you. To make you smile”  jawab pacarku.

Tiba-tiba aku meneteskan air mata. Sungguh sangat takut bila aku harus kehilangannya. Kudekap handphone ku erat-erat pada dadaku, membayangkan bahwa yang kudekap adalah pacarku.

***

“Dian, buka pintunya ! Sudah malam, ayo makan dulu !” teriakan ibuku membangunkan tidurku.

Segera aku melihat jam dinding. Ternyata sudah jam 9 malam. Ternyata aku tertidur setelah asyik chattingan dengan pacarku. Aku langsung melompat dari tempat tidurku dan membuka pintu kamarku. Akupun disambut hangat oleh ayahku.

“Aduh, anak ayah yang paling cantik sedunia baru bangun tidur” ucap ayahku sambil membelai rambutku.

“Capek yah tadiii. Keujanan lagi” jawabku manja.

“Eiyaaa.. kamu ini. Dari pulang tadi kan belum mandi. Ini ibu sudah siapin air anget buat kamu mandi. Mandi dulu sana, trus makan” ibuku menimpali.

“Ayah bawa cumi bakar madu kesukaan kamu lhoooo…” kata ayahku, masih sambil membelai rambutku.

“Iyaaa.. Dian mandi dulu ya. Tapi ayah jangan makan cuminya Dian lho ! Dian laper banget, kayaknya cumi-cumi satu samudera bisa Dian makan” jawabku kepada ayah ibuku.

“Iya, makanya mandi dulu, Dian..” kata ibuku.

Belum sempat aku menuju ke kamar mandi, tiba-tiba telepon berdering.

Kring kring kring !!

“Dian aja yang angkat yaa.. “ kataku kepada ibuku dan ayahku.

"Halo ?" jawabku.

"Halo adek.."

"Mas !!!" jawabku kegirangan
.
Ternyata mas ku, Bimo, yang menelepon.

"Ih, mas jarang telpon aku sekarang.. udah 1 minggu lho... Sibuk ya ? Dik Rara gimana ? Udah bisa merangkak belum ?" Sepertinya mas Bimo bingung karena diberondong pertanyaan yang begitu banyak dari adiknya ini. Maklumlah, saat ini ia berada di Jakarta dan sudah berkeluarga. 

"Hahaha..  Aduh, ini pertanyaan beruntun kayak kereta. Iya mas baik, dek. Adek gimana kabarnya ? Sehat ?"

"Sehat mas.. oya, Dian mau cerita. Hari ini, seperti biasa tadi ibu kenalkan Dian ke ... siapa ya tadi namanya... hahaha.."

"Lagi dek ? Ganteng ga ?"

"Ganteng sih. Tapi Dian kan ga minat..."

"Siapa yang telpon itu, Dian ?" tanya ibuku.

"Mas Bimo bu" jawabku, "Mas, ini ada ibu. Nanti aja ya ngobrol sama ibunya, pas Dian mandi. Hihihi.. Mas ada cerita apa di sana ?”

“Hmm.. hari ini banyak pasien yang aneh-aneh dek. Ada pasien yang kecelakaan, minta difotoin pas lagi sakit. Katanya baru pertama kali dia sakit masuk IGD. Padahal ya, lukanya cuma luka lecet kecil aja. Hahaha.. Ada lagi pasien yang matanya kelilipan getah pohon. Itu sampe pohonnya dibawa lho dek. Pake pot gede banget gitu..” 

“Huahahahaha… asik banget sih mas. Ketemu orang-orang ajaib. Kalo Dian mah.. di kantor cuma Bu Arum yang ajaib. Hahahaha.. Hari ini beliau marah-marah, soalnya kita lupa matiin lampu pas rapat. Lebay amat” jawabku kesal. Entah brapa kali aku menceritakan kejadian ini kepada orang-orang terdekatku.

“Hahaha.. Biasa, hormonal mungkin itu dek. Besok lagi kamu catat kalo beliau lagi marah, mas yakin itu berpola setiap 28 – 35 hari sekali. Jadwalnya orang menstruasi tu” ucap masku singkat.

Belum puas aku berbincang dengan masku, ibuku langsung menarik telpon dan berkata,

“Halo Bim. Ini adeknya biar mandi dulu ya. Masak pulang tadi, keujanan, ga mandi sampe sekarang” ibuku berkata sambil melirikku. Akupun bergegas menuju ke kamar mandi.

Di dalam kamar mandi, aku berkali-kali mengucap syukur. Sungguh aku berterima kasih kepada Tuhan memiliki keluarga yang amat sangat harmonis dan menyayangiku. Semoga suatu hari nanti aku bisa membuat keluargaku bahagia.

***

Sore itu seperti biasa aku berjalan kaki pulang ke rumah. Setibanya di depan pintu gerbang, aku melihat ada pemandangan yang tidak biasa. Aku melihat ada sepatu Skecher yang amat kukenali. Ini sepatu mas Bimo ! Dengan senang aku langsung membuka pintu. Belum sempat aku mengucapkan salam, senyum bahagiaku mendadak terhenti.

Aku melihat ayahku, ibuku, dan masku duduk di ruang tamu. Mereka juga tampak kaget dengan kedatanganku. Aku melihat ibuku sedang menangis tersedu-sedu, di samping kirinya ada ayahku yang membelai rambut sambil memegang erat tangan ibuku. Di samping kanan ibuku, aku melihat mas Bimo yang juga sambil berkaca-kaca menatapku.

“Dian, tolong duduk sebentar” kata ayahku perlahan.
  
“Ada apa ini?” ucapku bergetar menahan tangis.

“Adek tau kan kalo kami ini sayang banget sama adek ?” kata mas Bimo bergetar.

“Iya, tau mas. Ini kenapa ? Dian bingung mas..” air mata sudah mulai menetes di pipiku. Aku memang tidak tau apa yang terjadi, namun melihat ibuku menangis sesenggukan, dan kedatangan mas Bimo yang tiba-tiba, pastilah ada sesuatu yang sangat penting terjadi.

“Adek.. kali ini mas, ayah, dan ibu meminta adek dengan sangat.. adek mau ya dijodohkan dengan teman mas, namanya Bobby. Orangnya baik kok, dek..” kata mas Bimo pelan, sambil menggenggam tanganku.

“Hah? Maksudnya apa ini mas ? Jauh-jauh mas datang ke sini buat bilang kayak gitu sama Dian ?” nada bicaraku meninggi.

“Dian, ayah mohon.. Dian sudahi ya hubungan dengan pacar Dian itu.. Ini ada orang yang jauh lebih baik untuk masa depan kamu..” kata ayahku, dengan tatapan nanar.

Belum sempat satu kata keluar dari mulutku, mas Bimo langsung berlutut di hadapanku dan memandangku sambil berkata, 

“Anggap ini permohonan terakhir kami, Dian..”

Semua gelap. Mataku berkunang-kunang.

***

Denting lonceng gereja terdengar nyaring. Saat ini aku berdiri di depan pintu gerbang gereja, untuk memasuki tahapan baru dalam hidupku. Pernikahan. Sambil menggenggam erat tanganku, Bobby, calon suamiku, tersenyum lembut kepadaku.

How’s your feel honey ?”  tanyanya.

“Gimana ya.. gatau nih. Campur-campur” ucapku sambil mencoba tersenyum.

Di belakang kami sudah terbentuk barisan rapi, ayahku, ibuku, dan kedua orang tua Bobby. Mas Bimo sekeluarga, kerabat dan saudara-saudara kami berdua sudah masuk ke dalam gereja. 

Lagu pembukaan sudah dimulai. Kamipun berjalan untuk menuju ke altar.

Ketika berjalan menuju ke altar, aku melihat sesosok yang amat kukenal berdiri di depan bangku gereja. Pacarku, yang saat ini menjadi mantanku. Sudah 1 tahun sejak aku memutuskan untuk menghentikan komunikasi dengannya, dan tiba-tiba saja kukirimkan undangan pernikahanku. Begitu jahatnya aku.

Dan saat ini sosok itu hadir di hari pernikahaku. Sosok itu adalah yang selama 6 tahun selalu menghiasi hari-hariku. Dia terlihat sangat cantik dengan gaun putih dan rambut hitamnya yang terurai panjang dengan jepit kupu-kupu yang menghiasi rambut indahnya itu. Aku sangat ingat dengan jepit itu karena aku sendiri yang memilihkan dan memasangkannya pada rambutnya untuk pertama kalinya. Rambutnya semakin panjang, wajahnya semakin cantik sejak terakhir kali aku bertemu dengannya. Kulihat senyum menghiasi wajahnya. Senyum menahan tangis dan berusaha mengikhlaskanku. Aku sangat mengetahuinya. 

***

Namaku Dian. Aku adalah seorang lesbian.  Sebuah kondisi yang tidak aku pilih, tidak aku rencanakan, dan mungkin tidak aku harapkan. Aku tidak tahu sejak kapan aku menjadi seorang lesbian. Yang kuingat hanya pada waktu kelas 1 SD, aku merasa sangat kehilangan teman bermainku yang pindah sekolah karena pekerjaan orang tuanya. Ya, dia perempuan. Apakah dia cinta pertamaku ? Mungkin. Yang kuingat setelah itu hanyalah aku tertarik pada perempuan.

Pernahkah kalian, wahai perempuan, merasa tertarik pada pria tampan dan tidak merasa tertarik pada perempuan yang cantik ? Akupun. Aku tertarik pada wanita cantik dan tidak merasa tertarik pada pria tampan.

Pernahkah kalian, wahai perempuan, merasa ingin memiliki pria baik hati dan tidak merasa ingin memiliki perempuan yang baik hati ? Akupun. Aku ingin memiliki wanita yang baik hati dan tidak merasa ingin memiliki pria yang baik hati.

Pernahkah kalian, wahai perempuan, mencintai seorang pria yang kalian rasa sempurna dan tidak mencintai seorang wanita yang kalian anggap sempurna ? Akupun. Aku mencintai wanita yang kuanggap sempurna dan tidak mencintai pria yang kuanggap sempurna.

Dan pernahkah kalian, wahai perempuan, memilih kepada siapa kalian mencintai ? Tidak. Akupun, tidak. Bila diperbolehkan memilih, aku tidak mau mencintai seorang perempuan.

***

Namaku Dian. Aku adalah seorang lesbian. Aku pernah menjalin hubungan dengan seorang perempuan yang amat kusayangi, kuncintai, dan kukasihi. Namanya Putri. Aku mengenalnya sejak di bangku kuliah. Yang pada awalnya kuanggap dia hanyalah seorang sahabat, dan lama-lama aku mencintainya. Kepadanya aku mengakui bahwa aku adalah penyuka sesama jenis. Dengan harapan, bila dia adalah orang ‘normal’ mungkin dia akan menjauhiku dan aku harus mengubur harapanku untuk bersamanya.

“Put, jujur, aku ini lesbi. Aku jujur sama kamu karena aku gamau kamu risih. Kamu boleh jauhin aku sekarang karena kayaknya perasaanku ke kamu berubah, dari sahabat jadi… pengin memilikimu…” ucapku pada Putri saat itu.

Jawaban Putri sungguh di luar bayanganku. Tanpa berkata apa-apa ia langsung mengecup bibirku dengan lembut. Sambil mengusap rambutku ia berkata,

“Aku seneng banget kamu jujur sama aku, Dian. Karena sesungguhnya, akupun merasakan hal yang sama..”
Setelah itu kami berdua berpelukan dengan erat. Bahkan, sampai saat ini, saat aku berjalan menuju altar pernikahanku, dengan orang yang sama sekali tidak kucintai, aku masih bisa merasakan kehangatan pelukannya saat itu.

Tanpa sadar, lamunanku terhenti ketika kami berdua sudah sampai di depan altar untuk memulai prosesi Misa Suci Sakramen Perkawinan. Kutahan air mataku, jangan sampai ia jatuh membasahi dan membuat luntur make up ini.

Sepanjang prosesi ibadah pikiranku melayang ke mana-mana. Tatapanku kosong. Berkali-kali, Bobby, calon suamiku, menggenggam erat tanganku dan tersenyum kepadaku. Bobby adalah pria yang sangat baik hati, dan mungkin sempurna bagi kalian wahai perempuan. Tapi aku tidak bisa mencintainya. Pikiranku tetap tertuju kepada tambatan hatiku, Putri.

***

Tak terasa khotbah Romo sudah selesai. Tanganku menjadi kaku dan dingin. Saat inilah saat paling sacral. Ucapan janji pernikahan, di depan Romo, keluarga, saksi, umat, dan di hadapan Tuhan. Kakiku terasa sangat lemas untuk berdiri. Bobby bahkan harus membantuku untuk dapat berdiri tegak. 

Saudara-saudari terkasih, kini tibalah saatnya kedua calon mempelai untuk meneguhkan janji perkawinan mereka. Pada upacara penerimaan Sakramen Perkawinan ini, Dian dan Bobby akan mempersatukan cinta mereka dalam ikatan cinta Kristus yang abadi. Saya mengundang kedua saksi untuk ke depan. Umat juga saya persilakan berdiri” ucap Romo.

Aku tidak mau mendengar semua ucapan prosesi. Mataku tertuju pada ibuku, ayahku, dan masku. Aku masih berpikir, mungkinkah aku bisa langsung lari dari altar gereja ini, menggandeng Putri, dan kami keluar dari gereja untuk bisa hidup bersama ?

Tidak.

Aku memang sangat menyayangi Putri. Akan tetapi aku menyadari, aku jauh lebih menyayangi keluargaku.

Ibuku, yang kutau setiap pulang arisan dengan tetangga, ibuku selalu masuk ke kamarnya untuk berdoa, karena tidak kuat mendengar omongan tetangga yang mengetahui keadaanku.

Ayahku, yang kutau mendapat tekanan luar biasa dari keluarga besarku, bude-pakde-om-tante, yang menganggap aku tidak normal karena aku adalah lesbian. Namun ayahku selalu membelai lembut kepalaku dan menatapku dengan penuh kasih.

Masku, yang kutau sering mendapat cacian dan hinaan dari keluarga istrinya, karena menganggap aku adalah ‘orang sakit’ yang tidak bisa disembuhkan. Namun ia selalu menghubungi dan menghiburku dengan obrolan-obrolan konyolnya.

“Dian , apakah saudari menerima dan meresmikan perkawinan ini dengan kesungguhan dan keikhlasan hati? ucap Romo.

Mungkin ini saatnya aku membalas kebaikan mereka semua, membalas rasa cinta mereka yang begitu besar kepadaku. Untuk membalas setiap tetes air mata mereka demi membelaku. Pernikahanku ini adalah bukti cintaku kepada mereka. Dan sekali lagi kutatap salib besar di sampingku.

Iya Tuhan, mungkin ini juga bukti cintaku padamu.

Sambil berkaca-kaca akupun berkata,

“Ya, saya bersedia”

***

Pilihan untuk Menjadi Ibu yang Bekerja

Menjadi ibu itu capek ! Serius, melelahkan. Sebagai seorang ibu, mau bekerja atau full time di rumah, tetap saja melelahkan. Beberapa waktu...