‘Itu Nina !’ ucapku kegirangan dalam hati.
Segera kuberlari dan bersembunyi
di balik pintu kaca bangsal rumah sakit. Aku terlalu malu untuk menyapa, atau
bahkan melihat Nina. Mata indahnya seperti menghipnotisku dalam-dalam; dan aku
tidak mau tersesat di dalamnya.
Nina berjalan melewatiku..
seperti biasa, jangankan menoleh, dia bahkan tidak merasa adanya kehadiranku. Aku
hanya bisa melihatnya dari balik pintu, dan lagi-lagi, wangi parfumnya
membuatku mabuk kepayang.
Pelan-pelan kuikuti ke mana Nina
pergi. Saat ini adalah jam kunjung pasien, kulihat lorong bangsal ramai dengan
orang-orang yang hilir mudik. Nina pasti tidak mengetahui bahwa aku
mengikutinya.
Ramainya lorong bangsal membuat Nina
menghilang dari pandanganku, aku harus mengintip ke setiap jendela kamar pasien
untuk bisa menemukannya. Langkahku terhenti ketika aku mendengar suara lembut
Nina yang sedang memperbaiki infus pasien yang macet.
“Tangannya jangan diangkat
tinggi-tinggi ya, Pak Samiun, nanti darahnya naik” ucap Nina sambil tersenyum.
‘Ah, senyuman itu !’ jantungku langsung berdegup kencang melihat
senyum manis Nina. Senyuman yang membuatku jatuh hati padanya.
Kulihat Nina berjalan menuju
pintu, dekat jendela tempat di mana aku mengintipnya, aku langsung membalikkan
badanku dan berjalan cepat menjauhinya, supaya Nina tidak tahu bahwa diam-diam
aku memperhatikannya. Aku hanya takut Nina menjadi ilfil dan membenciku.
Akupun cepat-cepat berlari menuju
ke arah pintu keluar dekat lift. Dari pintu kaca tersebut, aku melihat Nina
berjalan melewatiku.
‘Cantik. Cantik. Cantik’ gumamku dalam hati. Sungguh, aku sangat
tergila-gila pada Nina.
‘Sampai kapankah aku harus memendam perasaanku ini ? Bertahun-tahun aku
hanya bisa melihat dan memandangmu dari jauh, Nina..’
***
Pagi ini kulihat Nina
terburu-buru untuk pulang, meskipun di luar terdengar rintik hujan yang
membasahi rumah sakit tempat Nina bekerja.
‘Shift malam memang sangat melelahkan, ya Nina ?’ ucapku dalam
hati.
Ingin rasanya aku mendekatinya
dan memberikan segelas coklat hangat untuk menemaninya; bila ia masih memiliki
hobi yang sama seperti dulu: menikmati segelas coklat hangat sembari mengunyah
keripik kentang.
’Atau kau ingin kubuatkan semangkuk mi rebus, Nina ?’ tanyaku
percuma. Karena aku tahu, Nina pasti
tidak bisa, atau tidak mau untuk mendengarkan perkataanku.
“Bu, Nina pulang dulu ya” ucap
Nina kepada salah seorang perawat senior.
“Masih hujan, Nina. Apa gak nanti
aja, nunggu reda ?” jawab perawat itu.
“Engga deh bu. Saya buru-buru.
Mari bu”
Tanpa menunggu jawaban, Nina
langsung mengemasi barangnya dan berjalan keluar ruangan.
Kakiku terstimulus untuk
mengikuti deru langkah kaki Nina yang terburu-buru itu. Aku hanya bisa
mengikutinya dari belakang sambil tetap bersembunyi, kalau-kalau tetiba dia
menoleh dan melihatku. Aku merasa tidak cukup tampan untuk bertemu dengannya
saat ini.
Menuju pintu keluar, Nina
mengambil payung hitam miliknya dan berjalan menerobos rintik hujan. Akupun
menerobos hujan sambil tetap berjalan di belakang Nina.
Langkah Nina terhenti setelah
melewati beberapa blok dari rumah sakit. Nina masuk ke dalam tempat itu, tempat
yang dingin dan sunyi.
Kulihat Nina berjalan dan
akhirnya setelah berhasil menemukan tempat yang dituju, ia berhenti sembari
mengeluarkan setangkai mawar merah.
“Untukmu. Dan hingga saat ini,
aku masih sangat merindukanmu”
Itu adalah kata-kata yang sama
yang diucapkan Nina hampir setiap harinya, di tempat di mana aku beristirahat
untuk selama-lamanya, di depan kuburku.
‘Akupun juga sangat merindukanmu, Nina’
This short story dedicated to Antoninaerviana, thank you for your
inspiring story J
No comments:
Post a Comment