‘Kebijakan yang kayak gimana maksudnya ? Yang meningkatkan kesehatan ?’
‘Can you give the details about
the policy ?’
Kira-kira seperti itulah pertanyaan yang muncul ketika saya mengajukan
pertanyaan kepada beberapa orang berlatar belakang kesehatan via LinkedIn mengenai kebijakan kesehatan
yang menurut mereka mendesak untuk segera dilakukan. Dari pertanyaan saya
tersebut kemudian perbincangan maya kami berkembang menjadi sebuah diskusi
kecil yang menarik. Menarik karena jawaban yang diberikan ternyata tidak jauh
berbeda, meskipun subyek yang saya beri pertanyaan berasal dari belahan negara yang
berbeda. Mereka memberikan beberapa poin jawaban di mana salah satu poin pasti
ada yang terkait dengan penyakit kronik.
Penyakit kronik menjadi permasalahan berskala global dan memiliki banyak
pengaruh dalam kehidupan masyarakat. Kebijakan mengenai penyakit kronik dirasa
mendesak karena tingkat mortalitas dan morbiditas yang disebabkan oleh penyakit
ini cukup tinggi dan semakin meningkat dari tahun ke tahun serta menyebabkan
penurunan produktivitas yang kemudian dapat mempengaruhi banyak aspek, seperti
aspek kualitas hidup, aspek kejiwaan, dan aspek-aspek lainnya.
Penyakit kronik adalah penyakit yang terjadi dengan durasi yang lama, bisa
dalam hitungan bulan atau tahun, di mana pengobatan yang dilakukan membutuhkan
waktu yang panjang bahkan seumur hidup. Pembahasan mengenai penyakit
kronik ini dikemukakan oleh narasumber-narasumber saya via LinkedIn. Ternyata, penyakit kronik tidak hanya menjadi masalah di
Indonesia, namun juga di luar Indonesia. Hal inilah yang membuat jawaban
narasumber saya banyak terkait dengan kebijakan mengenai penyakit kronik.
Kebijakan yang dikemukakan mengenai penyakit kronik beragam, mulai dari pencegahan,
penanganan, hingga sistem pembiayaannya. Yang pertama adalah kebijakan mengenai
pencegahan penyakit kronik. Pencegahan ini dapat dilakukan dengan menggalakkan
pola diet sehat yaitu makanan rendah lemak dan mengutamakan sayur-sayuran
(Whole Food Plant Base). Seperti kita ketahui banyak penyakit kronik seperti
penyakit kardiovaskular, obesitas, atau bahkan kanker sangat berkaitan erat
dengan pola dan gaya hidup seseorang. Salah satu gaya hidup yang memiliki peran
penting adalah pola diet. Berdasarkan Riskesdas tahun 2013, pola diet masuk ke
dalam tiga besar faktor resiko terjadinya penyakit kardiovaskular. Pola diet
yang dimaksudkan mencakup makanan manis, makanan asin, dan makanan berlemak.
Dengan adanya kebijakan pencegahan dengan tujuan mengajak masyarakat untuk
memiliki pola diet yang sehat, tentu diharapkan mampu untuk mengurangi insidensi
penyakit kardiovaskular.
Lembaga kesehatan masyarakat dapat menjadi ujung tombak dalam
pelaksanaan kebijakan ini. Bila kebijakan ini diaplikasikan di Indonesia, tentu
lembaga kesehatan masyarakat yang dimaksud salah satunya adalah Puskesmas. Kebijakan
ini sebenarnya sudah diberlakukan di Indonesia, yaitu dengan PHBS (Pola Hidup
Bersih dan Sehat) di mana salah satu indikatornya adalah dengan pola diet
sehat. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya masih belum optimal.
Kebijakan kedua adalah mengenai penanganan. Penanganan ini berfokus pada
pemahaman mengenai tatalaksana dari suatu penyakit, secara khusus adalah
penyakit kronik dan secara umum adalah penyakit lainnya. Sampai sekarang belum
ada suatu pedoman khusus dalam hal pengobatan suatu penyakit. Pengobatan suatu
penyakit masih banyak yang menggunakan pedoman khusus, misalnya adalah pedoman
berdasarkan pengalaman, atau bahkan terkotak-kotakkan sesuai dengan institusi
pendidikan. Sehingga, antara institusi pendidikan satu dengan yang lain bisa memiliki
tatalaksana yang berbeda pada penyakit yang sama. Hal ini menjadi dasar bahwa perlu
diberlakukan suatu kebijakan mengenai pedoman tatalaksana dan pengobatan
penyakit yang dapat diterapkan oleh seluruh institusi pendidikan secara umum.
Ketiga adalah mengenai pembiayaan. Seperti kita ketahui bahwa Indonesia
sudah menerapkan sistem BPJS dalam pembiayanan pelayanan kesehatan. Sistem BPJS
ini dinilai sangat membantu terutama pada pasien dengan penyakit kronik yang
membutuhkan pengobatan jangka panjang atau bahkan seumur hidup. Sebagai sebuah sistem
yang baru berlangsung beberapa tahun terakhir, tentu banyak kekurangan yang ada.
Salah satu hal yang disoroti adalah terkait pembiayaan BPJS.
BPJS sebagai sebuah sistem yang berkaitan dengan uang, tentu akan sangat
menggiurkan bagi oknum-oknum tertentu yang tidak bertanggung jawab. Untuk
mengurangi terjadinya kecurangan yang bisa dilakukan, diperlukan adanya kebijakan
untuk membentuk suatu lembaga atau sistem kontrol pengendali kecurangan dana
BPJS Kesehatan atau bantuan operasional kesehatan lainnya. Lembaga atau sistem ini
sebaiknya ada di setiap pelayanan kesehatan, seperti klinik pratama, puskesmas,
rumah sakit, dan instansi kesehatan lain. Dengan adanya lembaga atau sistem ini
diharapkan dapat mengurangi tindakan kecurangan dan penyelewengan dana bagi
jaminan kesehatan sehingga dana yang dialirkan bisa sepenuhnya berguna bagi
masyarakat.
Selain mengenai kebijakan-kebijakan terkait penyakit kronik, terdapat beberapa
kebijakan lain yang disampaikan oleh narasumber. Kebijakan ini memang tidak
mendesak untuk dilakukan, namun bagi saya menarik untuk dibahas.
Pertama adalah kebijakan mengenai pengadaan asuransi malpraktek. Sebaiknya
dokter bisa dilindungi oleh asuransi dan tidak hanya mengandalkan IDI.
Perlindungan ini dibutuhkan agar dokter bisa tenang dan fokus pada pelayanan
kesehatan tanpa merasa khawatir terhadap oknum-oknum tertentu yang senang mengambil
kesempatan dalam kesempitan. Asuransi
malpraktek ini ternyata sudah dikeluarkan oleh beberapa asuransi swasta seperti
Prudential dan Allianz, di mana asuransi ini mengover pembelaan pengadilan,
ganti rugi, dan biaya pengacara.
Kedua adalah kebijakan mengenai program pengadaan suplemen vitamin D
untuk anak dan dewasa yang memiliki aktivitas indoor. Kebijakan ini mungkin tidak mendesak dan kurang populer bila
diaplikasikan di Indonesia. Akan tetapi,
ternyata kebijakan ini cukup mendesak untuk dilakukan di United Kingdom. Defisiensi vitamin D menjadi masalah serius di sana,
mengingat banyak Negara Eropa Utara dan Kanada letak geografisnya jauh dari
garis equator. Faktor kultur dan
budaya ternyata juga memiliki pengaruh pada hal ini. Contohnya adalah Saudi
Arabia dan Pakistan. Narasumber saya mengatakan, jumlah vitamin D sangat rendah
pada wanita, hal ini disebabkan karena mereka harus memakai baju yang serba
tertutup. Atau bahkan di Negara China, jumlah vitamin D rendah pada wanita yang
menyusui, ternyata hal ini berkaitan dengan tradisi bahwa wanita menyusui harus
selalu berada di dalam rumah.
Demikianlah tulisan saya mengenai kebijakan kesehatan. Dapat diketahui
bahwa ternyata terdapat masalah yang secara global meresahkan dan mendesak
untuk dilakukan tindakan, namun tidak semua masalah memiliki solusi dapat
diaplikasikan secara global. Perlu pengkajian dan perumusan yang mendalam untuk
dapat memutuskan suatu kebijakan.
Terima kasih.
Terima kasih saya ucapkan kepada narasumber saya:
dr. D. Fachrur Razy
dr. Relca Adriansyah
dr. Colin Walsh
Nicole Findlay
dr. D. Fachrur Razy
dr. Relca Adriansyah
dr. Colin Walsh
Nicole Findlay
Superb. I enjoyed your writing style.
ReplyDeleteThank you very much, doctor :) but i still have to learn and get some advices for being a good writer :)
Delete