Hey guysss ! I made a short-yet-long-love-story again :)) inspired while having a shift in a hospital ward. Enjoy !
Bangsal Cempaka, 17 Januari 2017
“Nuryati !
Nuryati ! aaaaaarrrgghhhhh.. adooohhh.. sakit kepalakuuuu”
Sebuah
erangan yang memekakkan telinga terdengar di bangsal Cempaka pagi itu. Pak
Rudi, pasien kamar 3A, tak henti-hentinya mengeluhkan nyeri kepala hebat yang
dialaminya. Pak Rudi adalah salah satu pasien bangsal Cempaka, bangsal saraf,
di sebuah rumah sakit swasta di Jogja. Pada usianya yang terbilang muda, yakni
35 tahun, ia harus mengalami penyakit stroke perdarahan yang membuatnya harus
mendapatkan penanganan craniotomy –bedah
otak, untuk menghilangkan perdarahan di kepalanya.
“Iya Pak..
istirahat saja. Sebentar lagi obat anti nyerinya dibagikan” ucap perawat
bangsal dengan sabar.
Entah
brapa kali para perawat bangsal harus menenangkan Pak Rudi. Pasien yang
mengalami post craniotomy memang akan
mengalami nyeri kepala yang hebat. Tak hanya itu, mereka juga bisa mengalami
gangguan kesadaran, yang membuatnya
tidak awas terhadap lingkungan sekitarnya. Mereka bisa mengeluarkan obrolan atau
kata-kata yang tidak jelas dengan kondisi yang gelisah.
Bangsal
Cempaka memang bukan tempat yang tepat bagi pasien seperti Pak Rudi.
Pasien-pasien post craniotomy
seharusnya mendapatkan penanganan lanjut di ruang Intensive Care Unit, namun karena keterbatasan biaya, Pak Rudi
terpaksa ditempatkan di bangsal ini.
Sedangkan bangsal
Cempaka sendiri adalah bangsal khusus penyakit saraf, berupa ruangan persegi
panjang sebesar 7x6 m dengan 12 bed
untuk pasien. Pasien yang dirawat di tempat ini adalah pasien yang bisa
dibilang stabil, dengan tidak memiliki gangguan kesadaran dan pada umumnya mereka masih dapat berkomunikasi dengan baik.
Sehingga wajar bila pasien lain yang dirawat di bangsal ini mengeluhkan
kesusahan tidur karena teriakan dan erangan Pak Rudi. Hal ini membuat para
perawat mau tak mau juga harus menenangkan pasien lain yang merasa terganggu.
Jam
menunjukkan pukul 7 pagi. Saatnya untuk keluarga pasien memasuki bangsal
Cempaka untuk menyuapi para pasien. Di sini, keluarga tidak boleh berada di
dalam bangsal, mereka ditempatkan di satu ruangan khusus penunggu pasien.
Mereka hanya diperbolehkan masuk pada jam-jam tertentu, seperti pada waktu
makan. Termasuk bagi keluarga Pak Rudi, yaitu Nuryati, istrinya.
“Mas, ini
nasinya yuk dimakan..”ucap lembut Nuryati.
“Ha…. Opo
koweeeee.. aku ki meh adus.. hahaha…” lagi-lagi Pak Rudi mengeluarkan kata-kata
yang tidak nyambung. Nuryati hanya bisa menghela napas dalam-dalam melihat
kondisi suaminya.
Nuryati
adalah istri Pak Rudi. Ia berusia 5 tahun lebih muda dari suaminya. Mereka
memiliki seorang anak laki-laki berusia 2 tahun buah cinta pernikahannya.
Sehari-hari Nuryati bekerja sebagai buruh cuci sedangkan suaminya bekerja
sebagai penjaga konter HP. Mereka tinggal di sebuah rumah sederhana hasil
warisan dari almarhum orang tua Nuryati.
Nuryati
termenung melihat suaminya yang berbaring di bed. Pikirannya melayang-layang, bagaimana ia harus membayar biaya
rumah sakit. ‘untuk hidup sehari-hari
saja sudah susah, bagaimana aku harus membayar semua biaya perawatan suamiku ?’
ucapnya dalam hati sambil memegang sendok berisi sesuap nasi.
***
Bu Rina.
Seorang perempuan berusia 33 tahun yang mengalami stroke iskemik mulai masuk pagi ini. Ia mengalami gangguan berupa
mulut perot dan kelemahan anggota gerak kanan. Hasil CT Scan menunjukkan adanya kematian jaringan pada otaknya. Bukan
kali pertama Bu Rina harus menginap di bangsal Cempaka. Dua tahun yang lalu ia
pernah mengalami penyakit yang sama, yaitu stroke.
Perbedaannya, dulu ia mengalami kelemahan anggota gerak kiri. Meskipun sudah
dinyatakan sembuh, namun anggota gerak kiri Bu Rina tidak bisa berfungsi secara
maksimal. Hal inilah yang membuatnya menjadi orang yang cukup temperamental.
Segala hal yang biasanya dilakukan sendiri, saat ini harus bergantung pada
orang lain. Sebagai orang yang perfectionist,
ia ingin segala pekerjaannya sempurna dengan hasil tangannya sendiri.
“Aku gamau
makan tahunya ! Kamu tau kan aku ga suka sama tahu !” teriak Bu Rina kepada Pak
Toni, suaminya yang sedang menyuapi sarapan pagi untuk Bu Rina.
Pak Toni
adalah seorang pria berusia 34 tahun dan merupakan seorang PNS di Kota Yogyakarta.
Istrinya, Bu Rina, adalah seorang wiraswasta yang memiliki usaha sprei yang
cukup sukses, sebelum penyakit stroke
menyerang dirinya. Setelah terkena penyakit itu, usaha sprei miliknya harus
gulung tikar dan suaminya menjadi tulang punggung bagi istri dan seorang
anaknya masih berusia 5 tahun.
“Iya, bu..
tapi tahunya harus dimakan.. biar cepet sehat..” ucap Pak Toni sabar.
“Ahhh..
kamu itu ga berguna ! Udah pergi aja ! Aku mau tidur aja ! Dari kemarin aku
gabisa tidur gara-gara ada yang berisik !!” amuk Bu Rina sambil mengarahkan
matanya ke bed Pak Rudi.
Nuryati
hanya bisa memandang Bu Rina dan Pak Toni dengan tatapan malu.
"Sudah bu.. sekarang istirahat saja. Makannya nanti
lagi" kata Pak Toni menenangkan.
"Iya udah kamu pergi sana !" usir Bu
Tina.
Pak Toni kemudian melangkah ke luar ruang
Cempaka. Sesampainya di ruang
tunggu keluarga pasien, Pak Toni termenung. Ia menghela napas panjang
menghadapi isrinya yang suka marah-marah sendiri.
"Entah sampai kapan aku harus merasakan amarah dan
menjadi pelampiasan kekesalan istriku ?"
Lamunan Pak Toni terhenti ketika ada seseorang
yang menepuk bahunya.
"Maafkan suami saya, pak" ternyata
Nuryati yang menepuk Pak Toni, menyapa dengan mata berkaca-kaca.
"Oh, tidak apa apa bu. Namanya juga orang
sakit. Saya juga minta maaf atas ucapan istri saya yang kurang berkenan.."
jawab Pak Toni.
"Tapi tetap saja saya merasa tidak enak,
Pak... suami saya terkena stroke perdarahan dan kepalanya dibedah.. jadi
mungkin karena itu suami saya jadi gelisah, berisik, dan mengganggu..."
ucap Nuryati terbata-bata.
"Sudah bu, tenang.. istri saya juga di
rumah sudah susah tidur.. apalagi keadaa sakit seperti ini makin susah
dia.. jadi tidak perlu Ibu... maaf, siapa nama anda ?" tanya Pak Toni.
"Nuryati"
"Toni"
Mereka berdua pun berpandangan sambil berjabat
tangan. Sejenak sekeliling terasa hening. Mereka hanya terpaku bertatapan.
"Eng.. jadi tak perlu ibu Nuryati merasa
bersalah" kata Pak Toni memecah keheningan.
"Ah.. panggil Nuryati saja, Pak.."
senyumnya.
"Hahaha.. baiklah, bu.. eh.. Nuryati"
Pak Toni balas melempar senyum.
Mereka berdua kemudian duduk di ruang tunggu
sambil berbincang.
"Tinggal di mana, Nur ?" Tanya pak
Toni.
"Di jalan damai, dekat mall besar itu,
pak.."
"Wahh.. sering jalan-jalan ke mall
dong.."
"Hahaha.. tidak. Ga punya uang. Kebetulan
suami saya berjualan pulsa di konter kecil seberang mall itu. Bapak bekerja di
mana ?"
"Saya bekerja di kantor kelurahan.. itu
di..” belum sempat ia melanjutkan perkataannya, terdengar suara.. ‘krucuk krucuk’. Ternyata suara itu
berasal dari perut Pak Toni, yang belum makan seharian ini.
Sambil tertawa kecil Nuryati berkata, “Wah, lapar ya, Pak ?
Ini saya tadi pagi sempat memasak sayur sop dan tempe garit. Mungkin bapak
mau..” Tanpa menunggu jawaban dari Pak Toni, Nuryati langsung
mengeluarkan rantang bertingkat miliknya dan mulai menata makanan.
“Wah, langsung disuguhi begini mana bisa saya menolak.
Hahaha..” Pak Toni tersipu malu.
Mereka
kemudian mulai makan bersama dan berbincang-bincang.
“Sudah
lama saya tidak merasakan masakan rumah seperti ini. Biasanya sebelum bekerja
saya sarapan dulu di warteg depan kantor.. hehe..” ucap Pak Toni.
“Loh..
memangnya istri bapak tidak memasak ?” Tanya Nuryati.
Pak Toni
terdiam sejenak dan menjawab, “Istri saya 3 tahun lalu terkena stroke.. hal itu
menyebabkan bagian tubuh kirinya lemas. Jadi malah saya yang masak kalo
sempat.. hahaha…”
“Wah, maaf
atas pertanyaan saya yang kurang berkenan, Pak..”
“Hahaha..
tidak apa-apa, Nur. Hmm.. masakanmu enak sekali” kata Pak Toni sambil
memasukkan makanan ke dalam mulutnya.
“Terima
kasih banyak, Pak” jawab Nuryati sambil tersenyum.
***
Begitulah awal
perkenalan Nuryati dengan Pak Toni. Semenjak
saat itu, mereka jadi sering berbincang di ruang tunggu keluarga pasien. Tak
hanya itu, mereka berdua juga masuk bersamaan ke bangsal Cempaka untuk menyuapi
makan bagi pasangan mereka masing-masing.
"Mas, ini makan dulu" ucap Nuryati
kepada suaminya.
"Hahahahha.. adohh.. sirahku mumet tenan
iki. Jaaaannn.. mumet pool" Pak Rudi mengerang kesakitan.
Nuryati hanya bisa diam melihat kondisi suaminya,
ia tak tahu harus berkata apa. Pandangannya lalu mengarah ke depan. Ternyata tanpa
ia sadari Pak Toni, yang juga sedang menyuapi istrinya, melihat Nuryati.
Sejenak mereka berpandangan dan saling melempar senyum malu.
“Nuryati, makan di luar yuk” ajak Pak Toni setelah keluar
dari bangsal Cempaka.
Nuryati menoleh dengan senyum, “Ah, terima kasih, tidak usah,
Pak. Saya sudah membawa makanan. Eng.. saya membawa makanan juga untuk Pak
Toni”.
“Wah.. Baiklah. Bagaimana bila nanti siang makan di luarnya
?”
Nuryati hanya mengangguk sambil tersipu.
***
Pagi itu tidak seperti biasanya. Pukul 06.00 Pak Toni sudah menuju
ke kamar mandi dekat ruang Cempaka, yaitu tempat di mana para penunggu pasien
biasa membasuh diri. Pak Toni mandi dan tak lupa menyemprotkan parfum yang baru
saja dibelinya. Tak lupa Pak Toni menyanyikan lagu gembira dan bersiul-siul
dengan ceria. Sudah lama ia tidak merasakan perasaan seperti ini, seperti
ketika muda.
Jam sudah menunjukkan pukul 07.00. Seperti biasa keluarga
pasien diperbolehkan masuk ke ruang Cempaka untuk menyuapi pasien. Namun kali
ini Pak Toni melihat pemandangan yang “tidak
biasa. Nuryati tidak ada di tempat untuk menyuapi suaminya. Yang tampak adalah
seorang pria separuh baya, mungkin usia 25 tahun an. Pak Toni mulai menyapa
pria tersebut,
“Maaf, sepertinya saya baru melihat anda di sini. Biasanya
istrinya yang datang ?”
“Kakak ipar saya, Mbak Nuryati, kebetulan sedang sakit. Saya
diminta untuk menemai mas Rudi. Bapak siapa ?” tanya pria tersebut.
“Saya Toni. Saya menemani istri saya di sini. Sakit juga.
Hehehe… tumben kok ga lihat bu Nur, biasanya saya hapal dengan orang-orang di
sini” jawab Pak Toni. “Kalau boleh tau,bu Nur sakit apa, mas ?” lanjutnya.
“Masuk angin aja, Pak. Kecapaian mungkin” jawabnya.
Pak Toni hanya berdiam diri. Pria yang merupakan adik dari
Pak Rudi pergi meninggalkannya. Sepanjang hari Pak Toni merasa ada sesuatu yang
hilang.
Pak Toni terus berpikir,
‘mengapa hari
ini aku merasa sangat sedih ? Apakah karena aku melihat kondisi istriku yang
sama persis seperti beberapa tahun yang lalu ? Oh Tuhan, tolong kuatkan
hambaMu. Kasihanilah istriku, ia sudah kehilangan banyak hal dengan kelemahan
di bagian kirinya.. dan sekarang Kau beri cobaan lagi… Tuhan, tak pantaskah ia,
kami….. atau aku merasakan kebahagiaan ? usiaku baru 34 tahun dan aku berhak
untuk mendapatkan sebuah kebahagiaan. Aku berhak untuk dihargai, bukan
diinjak-injak atau disuruh-suruh. Aku berhak untuk menjadi seorang pemimpin….. Ahhh..
aku merasa sangat kesepian. Biasanya ada Nuryati untuk bisa aku ajak bicara dan
berdiskusi tentang pekerjaanku.. sesuatu yang.. tidak bias kudapatkan dari
istriku… kalau misalnya Nuryati datang, apakah aku akan tetap merasa sedih
seperti saat ini ? hari ini, seperti ada yang kurang.. Apakah aku mulai
menyukai Nuryati ?’
***
Bangsal
Cempaka, 27 Januari 2017
Sudah 3 hari ini Nuryati tidak datang ke rumah sakit. Pak
Toni hanya bias terduduk lemas di ruang tunggu sambil menatap ke televisi.
Meskipun demikian, pikirannya kosong.
“Siang, Pak” ucap lembut seseorang membuyarkan lamunan Pak
Toni.
“Nuryati ! Terasa lama sekali tidak bertemu denganmu.
Bagaimana sakitmu ? Aku.. sangat mengkhawatirkanmu…” ucap Pak Toni sambil
memegang tangan Nuryati.
Nuryati hanya bisa memandang Pak Toni dengan sayu.
***
Rumah Nuryati,
24 Januari 2017
Nuryati duduk terdiam di dipan rumahnya. Matanya menerawang
ke depan, pikirannya melayang-layang. Sudah 1 minggu sejak perkenalannya dengan
Pak Toni yang membuat hatinya kalut. Terngiang kata dokter bedah saraf yang
menangani suaminya,
‘Bu, ini bapak
kan sudah saya ambil perdarahan di otaknya. Kita berharap hasilnya baik. Tapi
sebaik-baiknya hasil yang terjadi, bapak ada kemungkinan tidak bisa seperti
dulu lagi, yang mungkin dulu ngapa-ngapain bisa sendiri saat ini ya harus
didampingi, gatau sampai kapan. Karena begini ibu, perdarahan bapak ini cukup
luas dan letaknya sulit. Begitu ya ibu, mohon kesabarannya’
Nuryati hanya bisa bepikir, ‘Ya Tuhan, bagaimana mungkin aku yang seorang buruh cuci harus
menghidupi anak dan suamiku ? Mengapa Engkau memberikan cobaan yang begitu
besar kepadaku ? Aku masih muda, usiaku baru saja 30 tahun dan anakku juga
masih kecil. Aku juga ingin bahagia seperti keluarga lain … Mengapa aku harus
bertemu Mas Rudi, mengapa aku harus menikah dengannya ? mengapa dia harus terkena
penyakit yang berbahaya ?’
Kalimat itu terus terngiang di benak Nuryati. Pikirannya
berlanjut mengingat pertemuannya dengan Pak Toni.
‘Apakah
pertemuanku dengan Pak Toni adalah sebuah kebetulan, Tuhan ? Setiap hari
bertemu dengannya. Jujur, ia adalah orang yang membuatku bersemangat untuk
setiap hari datang ke rumah sakit. Apakah ini sebuah hal yang benar ?’
***
Bangsal
Cempaka, 30 Januari 2017
Pintu keluar bangsal Cempaka terbuka. Tampak Nuryati sedang mendorong
kursi roda dari bangsal Cempaka menuju ke arah pintu keluar.
“Terima kasih bapak ibu perawat,” ucap Nuryati sambil
tersenyum kepada penjaga bangsal pagi itu.
“Iya sama-sama, bu. Semoga bapak lekas sembuh,” jawab salah
satu perawat.
Hari ini adalah hari kepulangan Pak Rudi. Meskipun belum
sembuh, namun Nuryati meminta kepada para petugas medis untuk bisa membawa Pak
Rudi pulang dengan alasan keterbatasan biaya. Hutang Nuryati sudah di mana-mana
dan harta bendanya sudah terjual untuk membayar biaya rumah sakit Pak Rudi
karena mereka belum mengikuti asuransi kesehatan atau BPJS. ‘Saya tidak tau
tentang hal itu’ jawab Nuryati ketika para perawat menanyakan mengenai jaminan
kesehatan yang dimiliki.
Sebelum keluar dari pintu bangsal, Nuryati bertemu dengan Pak
Toni.
“Hati-hati di jalan, Nur” kata Pak Toni.
“Terima kasih, Pak. Semoga bu Rina lekas sembuh” jawab
Nuryati singkat. Nuryati sengaja tidak mau memandang Pak Toni. Tatapannya hanya
menunduk ke bawah.
‘Ini yang
terbaik. Aku tidak bisa lebih lama lagi di sini. Lebih lama di sini berarti aku
harus bertemu dengan Pak Toni. Aku tidak mau perasaan ini tumbuh subur. Aku sudah
memiliki suami. Dan aku sudah berjanji padanya, kepada keluarganya, dan kepada
Tuhan. Bahwa aku akan bersamanya dalam keadaan suka dan suka, kaya dan miskin,
sehat ataupun sakit’
Nuryati pun kembali mendorong kursi roda suaminya keluar dari
bangsal Cempaka.
Omoooo, speechles, keren banget nen. Ini sungguhan kah??
ReplyDeleteTapi kamu nulisnya apik banget ee. Mmg berbakat *plok2*
lingkipuuu terima kasihhhh ^^
ReplyDeleteengga ini engga beneran. ceritanya lagi gabut jaga bangsal pas saraf jadi bikin cerita sendiri di kepala :))