Sunday, July 15, 2018

Stockholm Syndrome dalam Tembakau


Hi guys ! I wrote a little analysis of tobacco, especially cigarette. I joined a writing contest a few months ago but I don't know what's the result until now. Hahahaha.. I hope that if you are reading this writing, you can give me advice so I can write better :D 
enjoy !

Stockholm syndrome.

Sebuah istilah yang mungkin tidak umum bagi masyarakat. Istilah ini berawal dari perampokan bank sekitar empat puluh tahun yang lalu pada suatu kota di Swedia, yaitu kota Stockholm. Perampok menyandera beberapa orang yang terdiri dari pegawai bank dan nasabahnya. Petugas kepolisian mengawasi tempat tersebut, hingga akhirnya mereka berhasil masuk ke dalam bank dan berusaha menyelamatkan para sandera. Menariknya, para sandera justru berusaha menyelamatkan para perampok itu agar tidak ditangkap.

Fenomena menarik ini lalu berkembang menjadi istilah baru, Stockholm Syndrome, di mana sandera menjadi simpati bahkan beberapa kasus tidak bisa lepas dengan penyanderanya. Hal ini menjadi mungkin karena secara psikologis ketika seseorang berada di bawah tekanan, segala bentuk kebaikan meski sekecil apapun itu akan menjadi sangat berarti. Para sandera berada di bawah tekanan dan ketika sang perampok memberikan sedikit perhatian, seperti meminjamkan jaket, mereka akan menganggap hal itu sebagai sesuatu yang amat berharga. Mereka bahkan percaya bahwa para perampok sebenarnya adalah orang yang baik.

Merokok Membunuhmu.

Berbeda dengan istilah Stockholm Syndrome, slogan ini jauh lebih familiar pada masyarakat. Kata-kata ini dapat dengan mudah ditemukan di bungkus rokok. Hal ini sesuai peraturan pemerintah nomor 109 tahun 2012 tentang iklan dan promosi rokok, terkhusus pasal 14 ayat 1 yang menyebutkan bahwa Setiap orang yang memproduksi dan/atau mengimpor Produk Tembakau ke wilayah Indonesia wajib mencantumkan peringatan kesehatan.” Dan ayat 2 menyebutkan:  “Peringatan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk gambar dan tulisan yang harus mempunyai satu makna”.

Dilansir dari European Heart Journal, tembakau, yang merupakan bahan utama rokok, merupakan factor resiko utama pada penyakit kardiovaskular dan penyakit lainnya seperti kanker paru-paru atau tenggorokan. Tembakau bertanggung jawab pada lebih dari 5 juta kematian setiap tahunnya atau 12% dari semua kematian dan diperkirakan pada tahun 2030 jumlah ini meningkat menjadi lebih dari 8 juta kematian setiap tahunnya.

Melihat fakta mengenai efek samping jangka panjang yang disebabkan oleh tembakau, maka pemerintah dirasa perlu untuk memberikan edukasi yang singkat, padat, dan jelas kepada masyarakat mengenai bahaya yang ditimbulkannya. Salah satu cara yang paling efisien adalah dengan memberikan peringatan pada bungkus rokok, meskipun ternyata peringatan dengan tulisan tidak efektif sehingga ditambahkan gambar seram pada bungkus rokok.

Kemudian pertanyaan selanjutnya adalah apakah tembakau benar-benar membunuh ?

Secara kesehatan, ya, meskipun tidak secara langsung. Tembakau yang terkandung dalam rokok masih menjadi salah satu factor resiko yang berbahaya bagi kesehatan dan sudah dilakukan banyak penelitian untuk membuktikannya. Akan tetapi, secara ekonomi mungkin berkata lain.

Tak dapat dipungkiri, tembakau merupakan salah satu ladang ekonomi yang sangat berpengaruh di Indonesia. Tentu, karena Indonesia adalah negara produsen tembakau terbesar keenam di dunia dengan jumlah petani tembakau sebanyak 527.688 orang. Indonesia juga menjadi Negara konsumen produk tembakau terbesar ketiga di dunia. Hasil utama dari produksi tembakau adalah rokok dan angka produksi rokok meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini seharusnya menguntungkan bagi para petani tembakau di Indonesia seiring dengan berkembangnya perindustrian rokok.

Menurut buku Petani Tembakau di Indonesia : Sebuah Paradoks Kehidupan, disebutkan bahwa kehidupan petani tembakau di Indonesia sangat bertolak belakang dengan perkembangan bisnis produk tembakau yang dihasilkannya. Terlihat pada tahun 2013 penghasilan petani tembakau masih berada di bawah upah minimum regional. Hal ini disebabkan karena tata niaga tembakau di Indonesia masih timpang dan keuntungan hanya dirasakan oleh sebagian orang, seperti pemodal dan industri rokok.

Pihak lain yang mendapatkan keuntungan dari tembakau, khususnya rokok adalah negara. Pendapatan negara yang didapat dari sektor rokok ternyata sangat besar. Terdapat pajak dan bea cukai serta hasil ekspor yang nilainya juga fantastis. Namun, apakah ini benar-benar sebuah keuntungan ?

Menteri Kesehatan Indonesia, Nila Moeloek, menyampaikan bahwa perilaku merokok dapat semakin membebani biaya kesehatan dan pengobatan yang ditanggung negara. Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa tembakau atau rokok menjadi faktor resiko utama berbagai penyakit, misalnya penyakit terkait kardiovaskular, seperti hipertensi, jantung koroner, dan payah jantung. Sebuah media online menyebutkan, pada tahun 2015 saja biaya kesehatan akibat rokok mencapai angka 596,61 triliun. Nilai ini meningkat bila dibandingkan tahun 2010 yang senilai 167 triliun. Nilai ini didapatkan dari pendekatan biaya kesakitan yang terdiri dari biaya yang ditimbulkan karena penyakit dan biaya terkait lainnya serta nilai kerugian produksi karena berkurangnya atau hilangnya jam kerja.

Masih terkait dengan biaya kesehatan, Indonesia sendiri saat ini sedang gencar dengan sistem pembiayaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosisl (BPJS) dengan peserta mencapai 72,9% dari penduduk di Indonesia. Hampir semua penyakit diklaim oleh BPJS dan penyakit jantung menempati urutan teratas dari sekian banyak penyakit yang membuat dana BPJS terkuras. Pada tahun 2017, defisit BPJS diperkirakan hingga 9 triliun banyaknya. Hal yang menarik adalah, untuk mengatasi defisit tersebut, pemerintah akan mengatasinya dengan bea cukai yang didapat dari industri rokok.   

Pemaparan tersebut menggambarkan kompleksitas tembakau, khususnya rokok. Di satu sisi, tembakau sangat berbahaya bagi kesehatan dan menyebabkan kerugian dalam bidang kesehatan. Namun di sisi lain, kerugian tersebut dapat diatasi dengan keuntungan yang dihasilkan dalam industri tembakau. Bila dilakukan pengurangan atau bahkan pembatasan aktivitas industri tembakau, maka yang ditakutkan adalah salah satu dampaknya yang secara langsung mengenai perekonomian para petani tembakau.

Melihat fakta-fakta ini, penulis merasa bahwa hubungan dari citra tembakau dengan petani tembakau tak ayalnya seperti sebuah Stockholm Syndrome. Tembakau dengan berbagai efek samping dan kerugian yang dihasilkannya, telah ‘menyandera’ banyak aspek, seperti para petani tembakau, yang tidak bisa lepas begitu saja dan bahkan sudah sangat terikat dengan industri tembakau.

Bagaimanakah akhir kisah ini ?

Mungkin, kisah ini tidak akan pernah berakhir. Masih kemungkinan, kita lihat saja.

No comments:

Post a Comment

Pilihan untuk Menjadi Ibu yang Bekerja

Menjadi ibu itu capek ! Serius, melelahkan. Sebagai seorang ibu, mau bekerja atau full time di rumah, tetap saja melelahkan. Beberapa waktu...