Hey guys ! I've been made a short yet long love story. hahaha.. hope you'll enjoy it ! :D
Namaku Dian. Pertengahan tahun
ini usiaku menginjak 27 tahun. Usia yang cukup matang untuk menikah, kata
orang-orang. Aku adalah anak kedua dari dua bersaudara. Masku, Bimo, adalah
seorang dokter yang sudah berkeluarga dan saat ini menetap di ibukota.
Sedangkan aku bekerja di sebuah bank swasta di tengah kota Yogyakarta.
Hari ini aku menjalani
kehidupanku seperti biasa. Masuk kantor jam 7 pagi dan pulang jam 5 sore.
Sebagai pegawai swasta kami dituntut untuk bekerja keras dengan tekanan yang
cukup memusingkan otak. Namun semua
tidak terasa melelahkan karena aku menjalani perkerjaanku dengan gembira. ‘Do with love and love what you do’ kalau
kata ibuku. Yah, meskipun setiap hari ada saja yang membuat atasanku berkacak
pinggang. Seperti hari ini, dia menegur kami karena setelah rapat tidak ada
yang mematikan lampu. Hihihi, ‘lagi PMS
kali’ kata temanku sebal.
Lamunanku terhenti setelah
petugas TransJogja berteriak dengan
nyaring bahwa bus sudah hampir sampai di shelter
tujuanku. Turun dari terminal, aku langsung menuju ke pangkalan ojek dekat shelter bus. Awan mendung dan rintik hujan membuatku malas
untuk berjalan kaki menuju ke rumah, meskipun aku membawa payung. Biasanya aku
memilih untuk berjalan dari shelter
hingga ke rumah, mungkin sekitar 1 kilo jaraknya. Kata pacarku, setidaknya sempatkan
waktu sekitar 30 menit tiap harinya untuk olahraga agar kesehatan tetap
terjaga. Pegawai kantoran macam aku mana sempat pergi ke gym, ikut senam atau zumba ? Hahaha, jadilah aku memilih jalan kaki
sebagai alternative olah raga. Namun kali ini engga deh. Rintik hujan semakin
membasahi badanku dan aku buru-buru naik ojek tanpa ada tawar menawar harga.
Deru mesin ojek yang kunaiki
sudah sampai depan rumah. Kuberikan selembar uang 20 ribuan untuknya.
“Ini mbak kembaliannya” kata
tukang ojek sembari mengeluarkan uang 5 ribuan dari dompetnya.
“Gausah pak. Ambil aja
kembaliannya” kataku. Terkadang aku tidak tega melihat tukang ojek yang saat
ini harus lebih bersaing ketat dengan adanya Gojek atau Uber.
“Wah, terima kasih banyak mbak !”
ucap tukang ojek itu gembira.
Ucapan terima kasih tukang ojek
hanya kubalas dengan senyum. Aku buru-buru mau masuk ke dalam rumah karena
hujan sudah mulai menderas. Masuk ke dalam rumah, kulihat ibuku sedang duduk
berbincang di ruang tamu dengan seorang laki-laki, mungkin seumuranku; namun
aku tak mengenalnya. Belum sempat kuberi salam kepada ibuku, ibuku langsung
berkata kepadaku,
“Dian, sini duduk dulu. Kenalin,
ini Tomi, anaknya Tante Nur teman SMA ibu dulu”
Kuulurkan tanganku dan dengan senyum
tipis aku mengenalkan diriku,
“Dian”
“Tomi” jawabnya sambil tersenyum.
“eng… mari” ucapku sambil
berlalu. Entah mungkin aku terlalu lelah akan pekerjaanku atau aku terlalu malas
untuk berkenalan dengan-siapa itu ? Tomi ?-, aku lebih memilih untuk langsung
masuk ke kamarku.
Orang semacam Tomi bukan yang
pertama, mungkin dia adalah laki-laki kesepeluh yang dikenalkan orang tuaku
kepadaku. Meskipun keluargaku tahu aku sudah memiliki pacar sejak 6 tahun yang
lalu, namun mereka tetap saja mencoba mengenalkan aku kepada orang yang mereka
anggap lebih baik. Aku tidak mengerti, apakah karena pacarku berasal dari
keluarga broken sehingga mereka
kurang menyukainya ? Entahlah.
Tok tok tok .. ! Terdengar suara pintu kamarku diketuk.
“Dian, buka pintunya..” suara ibuku
terdengar lembut.
“Iya bu ?” ucapku sambil membuka
pintu kamar.
“Tolong buatkan teh ya untuk
Tomi.. sama itu.. di lemari ada kue kering nanti kamu masukkan ke toples trus
dibawa ke depan..” pinta ibuku sambil tersenyum dan membelai rambut panjangku.
“Iya bu.. untuk ibu, Dian
ambilkan air hangat aja ya. Jangan minum yang manis-manis, ingat diabetes..
nanti Dian laporin ke mas Bimo lho.. hihihi” jawabku menggoda ibuku. Ibuku
memang menderita sakit gula sejak 2 tahun yang lalu. Dan mas Bimo selalu memintaku
dan ayah untuk mengawasi pola makan ibu.
“Aduh kamu ini.. Iya Dian.. muah.
Ibu ke depan dulu ya” kecup ibuku.
Segera aku membuat teh hangat dan
menyiapkan hidangan kue. Aku merasa sangat beruntung dilahirkan di keluarga
ini. Aku memiliki ayah, ibu, dan kakak laki-laki yang sangat baik. Meskipun
mereka sering mengenalkan aku kepada banyak pria dan belum bisa menerima
pacarku, namun aku menyadari bahwa itu mungkin demi kebaikanku sendiri, yang
sampai saat ini tidak bisa kumengerti. Aku merasa senang karena walau
dikenalkan dengan berbagai pria, mereka tidak pernah meuntutku untuk menjalin
hubungan dengan pria-pria tersebut.
Selesai menyiapkan makanan dan
minuman, aku mengantarkannya ke ruang tamu. Lagi-lagi, Tomi tersenyum hangat
dan aku harus membalasnya dengan senyuman akward.
Tak ingin berlama-lama berada di ruang tamu, aku langsung masuk kembali ke
kamarku, sementara ibuku masih asyik berbincang dengan Tomi.
Jam menunjukkan pukul setengah 7
malam. Tak sabar aku membuka chat line,
berharap pacarku menghubungi. Dan ternyata benar, senyum bahagia tak dapat lagi
kutahan. Pacarku mengirimiku sebuah pesan singkat. Selama 6 tahun berpacaran
aku selalu deg-degan tiap kali pacarku menghubungiku, baik itu hanya mengirim
pesan atau telpon. Just like there’s
butterfly flying in my stomach. Hehe..
“Hei. How’s your day ?” itulah pesan singkat yang kuterima.
”Pretty good, except Bu Arum yg spt biasa suka marah2. Hari ini dia
marah gara2 kita lupa matiin lampu.. hahaha.. how’s your day eh ? :)” balasku. Tak lupa
kusisipkan emot senyum, ya, karena
memang dia membuatku tersenyum. Selalu tersenyum.
“Biasa aja. Nothing special. Satu2nya yg bikin spesial ya cm ngeline km ini :p”
jawabnya.
Hanya dengan membaca pesan
seperti itu saja aku langsung merasa, lagi-lagi, the butterfly keeps flying and flying high in my stomach. Aku
memang selalu mudah termakan gombalan pacarku yang sebenarnya mungkin tidak
romantis. Kemudian kukirimkan sticker
Brownie Conny berpelukan.
”Thanks for always make me smile ya :)”
jawabku.
Kuhela napas dalam-dalam, mulai
berpikir apakah aku perlu bercerita tentang Tomi, pria yang dikenalkan ibuku
kepadaku. Dan akhirnya, seperti biasa, aku memutuskan untuk tidak
menceritakannya kepada pacarku. Aku tak pernah mau bercerita tentang semua pria
yang dikenalkan orang tuaku kepadaku.
Karena pasti dia akan memintaku
untuk mengikuti saran orangtuaku.
Karena pasti dia akan memintaku
untuk meninggalkannya.
Aku tak mau.
“That’s why God sent me to you. To make you smile” jawab pacarku.
Tiba-tiba aku meneteskan air mata.
Sungguh sangat takut bila aku harus kehilangannya. Kudekap handphone ku erat-erat pada dadaku, membayangkan bahwa yang kudekap
adalah pacarku.
***
“Dian, buka pintunya ! Sudah malam, ayo makan dulu !”
teriakan ibuku membangunkan tidurku.
Segera aku melihat jam dinding.
Ternyata sudah jam 9 malam. Ternyata aku tertidur setelah asyik chattingan dengan pacarku. Aku langsung
melompat dari tempat tidurku dan membuka pintu kamarku. Akupun disambut hangat
oleh ayahku.
“Aduh, anak ayah yang paling
cantik sedunia baru bangun tidur” ucap ayahku sambil membelai rambutku.
“Capek yah tadiii. Keujanan lagi”
jawabku manja.
“Eiyaaa.. kamu ini. Dari pulang tadi
kan belum mandi. Ini ibu sudah siapin air anget buat kamu mandi. Mandi dulu sana,
trus makan” ibuku menimpali.
“Ayah bawa cumi bakar madu
kesukaan kamu lhoooo…” kata ayahku, masih sambil membelai rambutku.
“Iyaaa.. Dian mandi dulu ya. Tapi
ayah jangan makan cuminya Dian lho ! Dian laper banget, kayaknya cumi-cumi satu
samudera bisa Dian makan” jawabku kepada ayah ibuku.
“Iya, makanya mandi dulu, Dian..”
kata ibuku.
Belum sempat aku menuju ke kamar
mandi, tiba-tiba telepon berdering.
Kring kring kring !!
“Dian aja yang angkat yaa.. “ kataku kepada ibuku dan
ayahku.
"Halo ?" jawabku.
"Halo adek.."
"Mas !!!" jawabku
kegirangan
.
Ternyata mas ku, Bimo, yang
menelepon.
"Ih, mas
jarang telpon aku sekarang.. udah 1 minggu lho... Sibuk ya ? Dik Rara gimana ?
Udah bisa merangkak belum ?" Sepertinya mas Bimo bingung karena
diberondong pertanyaan yang begitu banyak dari adiknya ini. Maklumlah, saat ini
ia berada di Jakarta dan sudah berkeluarga.
"Hahaha.. Aduh, ini pertanyaan beruntun kayak kereta. Iya
mas baik, dek. Adek gimana kabarnya ? Sehat ?"
"Sehat mas.. oya, Dian mau
cerita. Hari ini, seperti biasa tadi ibu kenalkan Dian ke ... siapa ya tadi
namanya... hahaha.."
"Lagi dek ? Ganteng ga
?"
"Ganteng sih. Tapi Dian kan
ga minat..."
"Siapa yang telpon itu, Dian
?" tanya ibuku.
"Mas Bimo bu" jawabku,
"Mas, ini ada ibu. Nanti aja ya ngobrol sama ibunya, pas Dian mandi. Hihihi..
Mas ada cerita apa di sana ?”
“Hmm.. hari
ini banyak pasien yang aneh-aneh dek. Ada pasien yang kecelakaan, minta difotoin
pas lagi sakit. Katanya baru pertama kali dia sakit masuk IGD. Padahal ya, lukanya
cuma luka lecet kecil aja. Hahaha.. Ada lagi pasien yang matanya kelilipan
getah pohon. Itu sampe pohonnya dibawa lho dek. Pake pot gede banget gitu..”
“Huahahahaha…
asik banget sih mas. Ketemu orang-orang ajaib. Kalo Dian mah.. di kantor cuma Bu
Arum yang ajaib. Hahahaha.. Hari ini beliau marah-marah, soalnya kita lupa
matiin lampu pas rapat. Lebay amat” jawabku kesal. Entah brapa kali aku
menceritakan kejadian ini kepada orang-orang terdekatku.
“Hahaha..
Biasa, hormonal mungkin itu dek. Besok lagi kamu catat kalo beliau lagi marah,
mas yakin itu berpola setiap 28 – 35 hari sekali. Jadwalnya orang menstruasi tu”
ucap masku singkat.
Belum puas aku
berbincang dengan masku, ibuku langsung menarik telpon dan berkata,
“Halo Bim. Ini
adeknya biar mandi dulu ya. Masak pulang tadi, keujanan, ga mandi sampe
sekarang” ibuku berkata sambil melirikku. Akupun bergegas menuju ke kamar
mandi.
Di dalam kamar
mandi, aku berkali-kali mengucap syukur. Sungguh aku berterima kasih kepada
Tuhan memiliki keluarga yang amat sangat harmonis dan menyayangiku. Semoga
suatu hari nanti aku bisa membuat keluargaku bahagia.
***
Sore itu
seperti biasa aku berjalan kaki pulang ke rumah. Setibanya di depan pintu
gerbang, aku melihat ada pemandangan yang tidak biasa. Aku melihat ada sepatu Skecher yang amat kukenali. Ini sepatu
mas Bimo ! Dengan senang aku langsung membuka pintu. Belum sempat aku
mengucapkan salam, senyum bahagiaku mendadak terhenti.
Aku melihat
ayahku, ibuku, dan masku duduk di ruang tamu. Mereka juga tampak kaget dengan
kedatanganku. Aku melihat ibuku sedang menangis tersedu-sedu, di samping
kirinya ada ayahku yang membelai rambut sambil memegang erat tangan ibuku. Di
samping kanan ibuku, aku melihat mas Bimo yang juga sambil berkaca-kaca
menatapku.
“Dian, tolong
duduk sebentar” kata ayahku perlahan.
“Ada apa ini?”
ucapku bergetar menahan tangis.
“Adek tau kan
kalo kami ini sayang banget sama adek ?” kata mas Bimo bergetar.
“Iya, tau mas.
Ini kenapa ? Dian bingung mas..” air mata sudah mulai menetes di pipiku. Aku
memang tidak tau apa yang terjadi, namun melihat ibuku menangis sesenggukan,
dan kedatangan mas Bimo yang tiba-tiba, pastilah ada sesuatu yang sangat
penting terjadi.
“Adek.. kali
ini mas, ayah, dan ibu meminta adek dengan sangat.. adek mau ya dijodohkan
dengan teman mas, namanya Bobby. Orangnya baik kok, dek..” kata mas Bimo pelan,
sambil menggenggam tanganku.
“Hah? Maksudnya
apa ini mas ? Jauh-jauh mas datang ke sini buat bilang kayak gitu sama Dian ?”
nada bicaraku meninggi.
“Dian, ayah
mohon.. Dian sudahi ya hubungan dengan pacar Dian itu.. Ini ada orang yang jauh
lebih baik untuk masa depan kamu..” kata ayahku, dengan tatapan nanar.
Belum sempat
satu kata keluar dari mulutku, mas Bimo langsung berlutut di hadapanku dan
memandangku sambil berkata,
“Anggap ini
permohonan terakhir kami, Dian..”
Semua gelap.
Mataku berkunang-kunang.
***
Denting lonceng gereja terdengar nyaring. Saat ini aku
berdiri di depan pintu gerbang gereja, untuk memasuki tahapan baru dalam
hidupku. Pernikahan. Sambil menggenggam erat tanganku, Bobby, calon suamiku,
tersenyum lembut kepadaku.
“How’s your feel honey
?” tanyanya.
“Gimana ya.. gatau nih. Campur-campur” ucapku sambil mencoba
tersenyum.
Di belakang kami sudah terbentuk barisan rapi, ayahku,
ibuku, dan kedua orang tua Bobby. Mas Bimo sekeluarga, kerabat dan
saudara-saudara kami berdua sudah masuk ke dalam gereja.
Lagu pembukaan sudah dimulai. Kamipun berjalan untuk menuju
ke altar.
Ketika berjalan menuju ke altar,
aku melihat sesosok yang amat kukenal berdiri di depan bangku gereja. Pacarku,
yang saat ini menjadi mantanku. Sudah 1 tahun sejak aku memutuskan untuk
menghentikan komunikasi dengannya, dan tiba-tiba saja kukirimkan undangan pernikahanku.
Begitu jahatnya aku.
Dan saat ini sosok itu hadir di
hari pernikahaku. Sosok itu adalah yang selama 6 tahun selalu menghiasi hari-hariku.
Dia terlihat sangat cantik dengan gaun putih dan rambut hitamnya yang terurai
panjang dengan jepit kupu-kupu yang menghiasi rambut indahnya itu. Aku sangat
ingat dengan jepit itu karena aku sendiri yang memilihkan dan memasangkannya
pada rambutnya untuk pertama kalinya. Rambutnya semakin panjang, wajahnya
semakin cantik sejak terakhir kali aku bertemu dengannya. Kulihat senyum
menghiasi wajahnya. Senyum menahan tangis dan berusaha mengikhlaskanku. Aku
sangat mengetahuinya.
***
Namaku Dian. Aku adalah seorang
lesbian. Sebuah kondisi yang tidak aku
pilih, tidak aku rencanakan, dan mungkin tidak aku harapkan. Aku tidak tahu
sejak kapan aku menjadi seorang lesbian. Yang kuingat hanya pada waktu kelas 1
SD, aku merasa sangat kehilangan teman bermainku yang pindah sekolah karena pekerjaan
orang tuanya. Ya, dia perempuan. Apakah dia cinta pertamaku ? Mungkin. Yang
kuingat setelah itu hanyalah aku tertarik pada perempuan.
Pernahkah kalian, wahai
perempuan, merasa tertarik pada pria tampan dan tidak merasa tertarik pada perempuan
yang cantik ? Akupun. Aku tertarik pada wanita cantik dan tidak merasa tertarik
pada pria tampan.
Pernahkah kalian, wahai
perempuan, merasa ingin memiliki pria baik hati dan tidak merasa ingin memiliki
perempuan yang baik hati ? Akupun. Aku ingin memiliki wanita yang baik hati dan
tidak merasa ingin memiliki pria yang baik hati.
Pernahkah kalian, wahai
perempuan, mencintai seorang pria yang kalian rasa sempurna dan tidak mencintai
seorang wanita yang kalian anggap sempurna ? Akupun. Aku mencintai wanita yang
kuanggap sempurna dan tidak mencintai pria yang kuanggap sempurna.
Dan pernahkah kalian, wahai
perempuan, memilih kepada siapa kalian mencintai ? Tidak. Akupun, tidak. Bila
diperbolehkan memilih, aku tidak mau mencintai seorang perempuan.
***
Namaku Dian. Aku adalah seorang
lesbian. Aku pernah menjalin hubungan dengan seorang perempuan yang amat
kusayangi, kuncintai, dan kukasihi. Namanya Putri. Aku mengenalnya sejak di
bangku kuliah. Yang pada awalnya kuanggap dia hanyalah seorang sahabat, dan
lama-lama aku mencintainya. Kepadanya aku mengakui bahwa aku adalah penyuka sesama
jenis. Dengan harapan, bila dia adalah orang ‘normal’ mungkin dia akan
menjauhiku dan aku harus mengubur harapanku untuk bersamanya.
“Put, jujur, aku ini lesbi. Aku
jujur sama kamu karena aku gamau kamu risih. Kamu boleh jauhin aku sekarang
karena kayaknya perasaanku ke kamu berubah, dari sahabat jadi… pengin
memilikimu…” ucapku pada Putri saat itu.
Jawaban Putri sungguh di luar bayanganku.
Tanpa berkata apa-apa ia langsung mengecup bibirku dengan lembut. Sambil
mengusap rambutku ia berkata,
“Aku seneng banget kamu jujur
sama aku, Dian. Karena sesungguhnya, akupun merasakan hal yang sama..”
Setelah itu kami berdua
berpelukan dengan erat. Bahkan, sampai saat ini, saat aku berjalan menuju altar
pernikahanku, dengan orang yang sama sekali tidak kucintai, aku masih bisa
merasakan kehangatan pelukannya saat itu.
Tanpa sadar, lamunanku terhenti
ketika kami berdua sudah sampai di depan altar untuk memulai prosesi Misa Suci
Sakramen Perkawinan. Kutahan air mataku, jangan sampai ia jatuh membasahi dan
membuat luntur make up ini.
Sepanjang prosesi ibadah
pikiranku melayang ke mana-mana. Tatapanku kosong. Berkali-kali, Bobby, calon
suamiku, menggenggam erat tanganku dan tersenyum kepadaku. Bobby adalah pria
yang sangat baik hati, dan mungkin sempurna bagi kalian wahai perempuan. Tapi
aku tidak bisa mencintainya. Pikiranku tetap tertuju kepada tambatan hatiku,
Putri.
***
Tak terasa khotbah Romo sudah
selesai. Tanganku menjadi kaku dan dingin. Saat inilah saat paling sacral.
Ucapan janji pernikahan, di depan Romo, keluarga, saksi, umat, dan di hadapan
Tuhan. Kakiku terasa sangat lemas untuk berdiri. Bobby bahkan harus membantuku
untuk dapat berdiri tegak.
“Saudara-saudari
terkasih, kini tibalah saatnya kedua calon mempelai untuk meneguhkan janji
perkawinan mereka. Pada upacara penerimaan Sakramen Perkawinan ini, Dian dan Bobby akan
mempersatukan cinta mereka dalam ikatan cinta Kristus yang abadi. Saya mengundang kedua
saksi untuk ke depan. Umat juga saya persilakan berdiri” ucap Romo.
Aku
tidak mau mendengar semua ucapan prosesi. Mataku tertuju pada ibuku, ayahku,
dan masku. Aku masih berpikir, mungkinkah aku bisa langsung lari dari altar
gereja ini, menggandeng Putri, dan kami keluar dari gereja untuk bisa hidup
bersama ?
Tidak.
Aku
memang sangat menyayangi Putri. Akan tetapi aku menyadari, aku jauh lebih
menyayangi keluargaku.
Ibuku,
yang kutau setiap pulang arisan dengan tetangga, ibuku selalu masuk ke kamarnya
untuk berdoa, karena tidak kuat mendengar omongan tetangga yang mengetahui
keadaanku.
Ayahku,
yang kutau mendapat tekanan luar biasa dari keluarga besarku, bude-pakde-om-tante,
yang menganggap aku tidak normal karena aku adalah lesbian. Namun ayahku selalu
membelai lembut kepalaku dan menatapku dengan penuh kasih.
Masku,
yang kutau sering mendapat cacian dan hinaan dari keluarga istrinya, karena
menganggap aku adalah ‘orang sakit’ yang tidak bisa disembuhkan. Namun ia
selalu menghubungi dan menghiburku dengan obrolan-obrolan konyolnya.
“Dian , apakah saudari menerima dan meresmikan
perkawinan ini dengan kesungguhan dan keikhlasan hati?” ucap Romo.
Mungkin
ini saatnya aku membalas kebaikan mereka semua, membalas rasa cinta mereka yang
begitu besar kepadaku. Untuk membalas setiap tetes air mata mereka demi
membelaku. Pernikahanku ini adalah bukti cintaku kepada mereka. Dan sekali lagi
kutatap salib besar di sampingku.
Iya
Tuhan, mungkin ini juga bukti cintaku padamu.
Sambil
berkaca-kaca akupun berkata,
“Ya,
saya bersedia”
***